SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 45

LA MADDUKKELLENG terdiam sejenak. “Kalau begitu, segera lakukan pelatihan bersama. Soal Puteri Hindun Jamilah, biarlah saya coba tangani sendiri. Hasrat hati ini sangat besar. Saya akan menjadi sangat penasaran jika tak sempat berkenalan sebelum kembali ke Selat Makassar.”

“Iyye Pueng. Hamba segera mengaturnya. Ijin keluar.” Tanpa menunggu perintah berikutnya La Banna segera beranjak keluar dari pondok peristirahatan yang asri itu. Dalam benaknya, ini harus dilaksanakan dengan baik.

Demikianlah, pelatihan bersama itu dilakukan besoknya. Fokusnya di sisi barat pulau sampai ke laut lepas. Pesertanya dari Pasukan Raja Kecil kebanyakan orang-orang Bugis Makassar. Ini makin menguatkan hubungan di antara mereka. Pelatihan itu selain menjadi penguat emosional di antara dua pasukan, juga meningkatkan kemampuan tempur khususnya di air.

Kemampuan bertahan hidup  yang tinggi, kemampuan renang jarak jauh dengan beban sampai kemampuan menyelam dalam waktu lama. Kemampuan menyelam yang lama ini salah satu ciri kelebihan pasukan La Maddukkelleng. Materi beladiri juga diberikan dengan dasar-dasar silat Sulapa. Komplit dalam seminggu pelatihan.

Selama seminggu itu pula, La Maddukkelleng lebih sering di pondok peristirahatannya. Ia hanya keluar ke ujung pulau pada waktu-waktu datangnya perahu Puteri Hindun. Dari awalnya sekadar melambai tangan, senyum dari jauh hingga akhirnya bisa berbicara langsung walau kadang hanya singkat sekadar sapa.

Ini adalah sebuah pengalaman yang baru sama sekali. Ia tak tahu dorongan apa yang membuatnya senekat itu. Berbicara langsung dengan seorang wanita cantik jelas sesuatu yang beda. Ia merasakan dadanya bergemuruh setiap kali matahari sore semakin condong menuju maghrib, jadwal kedatangan perahu Tuan Puteri yang mengitari pulau. Terkadang juga yang ditunggu tak datang. Ia termangu saat dirasakannya keanehan itu, tangannya pun kadang terasa basah oleh keringat.

CERITA SEBELUMNYA :

La Maddukkelleng mengutuk dirinya dalam hati. Peperangan atau pertarungan apa pun tak ada yang membuatnya gugup seperti ini. Inilah pesona salah ujung dalam filosofi tellu cappa yang dulu disampaikannya pada saat berpamitan pada Puengta La Salewangeng, Arung Matoa yang bijaksana itu. Ia menarik napas. Dan bersamaan dengan itu, dari horizon terjauh ujung pulau, ia melihat perahu Sang Puteri bermanufer dan berhenti di pantai yang dangkal. Ia tak tahu harus berbuat apa. Tapi ia bertekad, inilah saat harus berbicara lebih lama dibanding sekadar senyum atau lambaian dari jauh.

La Maddukkelleng keluar dari pondok. Ia mengayun langkah menuju ujung pulau. Langkahnya terasa ringan seolah tak berpijak di tanah. Tapi ia tak peduli. Ia terus melangkah dengan satu tekad. Berbicara dan mengatakan sesuatu. Puteri itu terlihat ditemani dua inang pengasuhnya, turun dari perahu berwarna warni menuju bagian pulau yang berbatu. Sikap mereka wajar dan bebas. La Maddukkelleng terus melangkah, dan saat mendekati tempat di mana mereka duduk beralas batu cadas mengkilap, ia mendehem kecil,

“Salam Puteri Hindun Jamilah, maaf mengganggu acaranya…” Dia merasakan suaranya terdengar asing. Dia mencoba bersikap lebih tenang.

“Eh, Baginda Maddukkelleng rupanya? Kaget kami, terkira sesiapa yang muncul di balik pohon..?” Yang menjawab Si Inang. Sang Puteri hanya tersenyum malu mengalihkan pandangan nun jauh ke tengah laut.

“Ada apa gerangan Pangeran mendatangi kami di sini? Kalaulah ada yang ingin disampaikan, maka biarlah kami berdua menguatkan lilitan tali perahu.” Seperti dikomando, kedua Inang Pengasuh itu melangkah ke arah perahu hias indah yang ditambatkan di pantai.

“Oh, tidak. Saya hanya kebetulan di sekitar sini saat melihat Tuan Puteri mampir. Eh, tapi tak apa. Saya memang ingin berbincang dengan Tuan Puteri supaya persahabatan lebih dekat..” La Maddukkelleng mendengar suaranya meluncur begitu saja. Ia melanjutkan,

“Maafkan, adinda Puteri, saya hanya ingin menyampaikan pamit. Beberapa waktu ke depan, kami akan meninggalkan Pulau ini melanjutkan perjalanan menuju Selat Makassar..” La Maddukkelleng berhenti sejenak memperhatikan reaksi Puteri Hindun Jamilah. Tapi Sang Puteri terlihat tenang meski terlihat ada semburat merah di wajahnya yang anggun. Maka, ia melanjutkan,

“Kalaulah kita tidak sedang dalam masa perjuangan, ingin rasanya berlama-lama di pulau ini. Tak menyangka di sini indah dan menyenangkan hati. Ditambah lagi ada penghuni yang cantik jelita Puteri Hindun Jamilah. Bagaikan mawar indah di tengah taman laut.” La Maddukkelleng tak tahu apakah ini pujian atau rayuan, tapi ia merasakan kalau kalimatnya barusan itu mirip pantun, sesuatu yang sering didengarnya dari orang-orang Melayu.

Ia melihat Sang Puteri diam menunduk, terlihat rambut halusnya digerakkan angin pantai.  (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!