SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 161

LA MADDUKKELLENG menyapu pandangan ke arah penyambut di ruang tengah yang cukup luas itu. Lelaki berperawakan sedang berpakaian kuning keemasan dengan mahkota, tepatnya kopiah tinggi, berkumis agak panjang, cukup menjadi petunjuk baginya bahwa itulah Si Raja Kecil.

Seorang laki-laki empat puluh tahunan lebih, jauh di atasnya. Dia yang terlihat paling keren dengan para petinggi yang mengelilinginya. Suasana agak kaku namun segera dicairkan oleh sapaan awal dari La Maddukkelleng,

“Salamun ‘alaika, Baginda Raja. Saya La Maddukkelleng, Arung Peneki, adik dari kakanda Daeng Matekko, datang menghatur salam untuk pertama kalinya.” Terdengar suara khas La Maddukkelleng memecah sunyi di rumah besar itu. Bahasa Melayu dalam logat orang Bugis.

“Wa’alaikumussalam. Kami telah mendengar dari laporan yang datang lebih dulu. Selamat datang saudaraku La Maddukkelleng dari Tana Wajo. Kami mohon maaf hanya bisa menyambut seperti ini. Semuanya masih dalam susana darurat.” Raja Kecil tersenyum ramah dan melangkah maju menyambut sambil menjabat erat tangan La Maddukkelleng dan merangkul bahunya.

Rombongan yang lain mundur agak ke belakang, untuk memberi ruang bagi keduanya. Ini pertemuan dua bangsawan puncak. Tak pantas ada yang menyejajarkan diri dalam suasana itu.

Aroma pertemuan lalu berganti hangat. Raja Kecil mengajak La Maddukkelleng duduk di kursi besar berdampingan dengannya. Mereka lalu bertukar cerita. Semua hal. Situasi global nusantara, peristiwa di Tana Ugi, Selat Makassar sampai pada perang panjang yang melelahkan dengan Sultan Sulaiman yang dibantu Opu Lima Bersaudara.

Sampai pada ini, Raja Kecil menarik napas panjang berkali-kali. Apa lagi saat berbicara tentang perang terakhir yang menewaskan Daeng Matekko, dan beberapa perwira tinggi Raja Kecil.

“Saudara Daeng Matekko adalah lelaki gagah berani. Dalam keadaan genting di perang darat, dia pantang mundur sejengkal pun. Kami terdesak hebat. Ratusan petempur kita gugur dan tenggelam di dasar laut. Pun demikian pula beliau. Kami hanya mampu menyelamatkan dua buah kapal. Semua ditenggelamkan dan sebagian lagi milik Daeng Matekko dirampas oleh orang-orang kita sendiri dari Bone. Seorang pemuda Bone yang mengeroyok Daeng Matekko dikabarkan memiliki kepandaian tinggi. Dialah yang membawa pergi rampasan perang itu.”

La Maddukkelleng tidak berbicara. Ia hanya mendengarkan dengan seksama penuturan Raja Kecil. Pikirannya melayang ke sana kemari. Raja Kecil ini seperti sedang menemukan teman yang pantas untuk mencurahkan hati. Dia berbicara banyak hal. Sejarah Riau, hubungan baiknya dengan orang-orang Bugis dan ihwal silsilahnya sebagai pewaris sah Negeri Johor.

CERITA SEBELUMNYA :

La Maddukkelleng membatin, seorang raja yang baru mengalami kekalahan perlu didengarkan oleh orang-orang selevel. Dia pun lalu memasang wajah serius dengan mimik fokus. Padahal sebenarnya dia pun sedang berpikir ke sana kemari. Nasib yang membawanya hingga ke Johor, kekuatan yang sudah dibangunnya di Pulau Tuah hingga urusan yang tiada habisnya dengan orang-orang Bone termasuk di perantauan ini.

Tekadnya makin kuat ketika mengingat semua ini. Apa lagi baru saja kakaknya menjadi korban Perang Johor. Kapalnya dirampas To Passarai lalu sisa pasukannya lari ke tempat yang jauh ini. Ia harus membangun kekuatan yang besar. Tidak sulit melakukan itu. Ia memiliki pengikut setia dan militan. Bahkan bisa disebut berkepandaian tinggi. Ia telah memiliki negeri sendiri nun jauh di Selat Makassar yang sewaktu-waktu bisa digerakkan untuk apa saja.

Raja Kecil masih bercerita soal rencananya membangun ulang kekuatan.

“Saudaraku, kami akan membangun kekuatan baru di sini. Kami memiliki tiga kelompok petempur yang masih tangguh. Orang-orang Minang, suku-suku dari gugus pulau ini dan tentu saja sahabat-sahabat dari Tanah Bugis Makassar. Saya akan sangat berterima kasih dan menghatur hormat jika sekiranya Saudaraku La Maddukkelleng bisa membantu kami membangun kekuatan di sini. Masa depan kami belum selesai. Dari sini kita akan membuat poros dengan Riau.” Sampai di sini Raja Kecil berhenti berbicara dan memberi kesempatan ke La Maddukkelleng untuk bersuara.

“Baginda Raja, saya adalah seorang pelarian dari Wajo. Saya memiliki perang sendiri yang harus saya jalani. Tapi saya memberikan dukungan keberpihakan kepada baginda. Orang-orang Wajo yang ada dalam pasukan ini adalah bagian dari Peneki, bagian dari Wajo. Saya akan tinggal beberapa lama di sini untuk ikut memberi gemblengan terutama kepada pasukan khusus dari Bugis Makassar. Setelah itu saya akan mengejar orang-orang Bone yang telah membawa lari dua kapal dan aset dari kakanda Daeng Matekko. Saya berjanji akan membantu Baginda, entah dengan logistik perang ataukah dengan pasukan. Ijinkan saya beristirahat dan membantu di sini beberapa lama sebelum meneruskan langkah menuju Selat Makassar.” La Maddukkelleng berbicara dengan aliran intonasi yang lugas.

Selama dalam petualangan ini, kebijaksanaannya semakin menemukan bentuk terutama dalam kefasihannya berbicara. Aksen bahasanya adalah campuran Melayu Bugis. Terdengar sangat khas. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 5 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!