SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 89

BERHENTI semua…!” La Maddukkelleng berteriak seraya mengeluarkan ilmu Seppung Paggerak dari dadanya. Suara itu membahana dan menggetarkan tempat itu. Ilmu ini adalah milik ayahandanya. Ilmu yang bisa menarik sukma musuh dan mencabut semangat keberanian melalui suara yang menggelegar. Ilmu ini efektif mengubah sikap perlawanan berganti sikap takluk.

Semua berhenti seketika. La Banna, Ambo Pabbola dan Cambang Balolo melompat mundur ke samping La Maddukkelleng. Para anak buah Wak Kannaco yang masih hidup dan siap melanjutkan pertempuran juga mundur dan menjadi gentar. Beberapa mayat bergelimpangan, pun yang terluka terlihat merawat diri masing-masing.

“Pimpinan kalian sudah mati. Kini, tempat ini saya ambil alih. Saya menjadi penguasa baru di sini. Sesiapa yang menolak saya beri pilihan untuk bertempur dan dihukum mati. Yang patuh dan menurut akan saya ampuni dan akan tetap hidup seperti sediakala. Menjadi bagian pasukan saya dan dijamin hidupnya.”

“Kami telah kalah dan siap menjadi pengikut tuanku.” Seorang bajak tua yang tadi menjadi salah satu lawan Ambo Pabbola maju berbicara. Tapi tiga orang bajak lain terlihat menantang. Salah satu bicara keras,

“kami tak sudi menjadi pengikut musuh. Mari bertempur sampai mati. Kami tidak takut!”

“Tiga orang itu kerabat Wak Kannaco, Pueng.” La Congkeng berbisik dari belakang.

CERITA SEBELUMNYA :

La Banna mendengus ingin maju tapi menahan langkah menunggu perintah La Maddukkelleng.

“Kapitang La Banna dan Cambang Balolo, hukum tiga orang itu.” La Maddukkelleng memberi perintah yang segera disambut dengan terjangan ke arah anak buah Wak Kannaco yang membangkang. Dua orang pembantunya itu memang luar biasa. Terdengar angin menderu saat keduanya melompat berbarengan.

“Dan kamu, Congkeng, ini ujian bagimu. Maju dan habisi yang satunya. Congkeng terlihat ragu, tapi detik berikutnya ia mampu mengambil keputusan. Mengambil pedang yang disodorkan Ambo Pabbola lalu menyerbu ke arena pertempuran yang sudah berlangsung seru.

Perlawanan mati-matian dari tiga loyalis Wak Kannaco tak berlangsung lama. Dalam waktu singkat La Banna dan Cambang Balolo telah mendesak musuhnya. Dua orang itu tinggal menunggu mati. Benar saja, berbarengan tumbangnya musuh La Banna dengan leher hampir putus, musuh Cambang Balolo juga sudah menelungkup dengan usus terburai.

Pertempuran seru terjadi antara La Congkeng dengan musuhnya yang terlihat berpostur lebih tinggi. Mereka nampak seimbang. Jika musuhnya telah terluka di pergelangan tangannya, maka Congkeng juga telah berdarah di paha kirinya.

“Kamu Congkeng keparat, pengkhianat. Kamu harus mati bersama saya!”

“Kau yang akan mati. Bukan aku. Hiyaaaatt…..!” La Congkeng, bajak laut yang tak punya pilihan selain membuktikan diri di depan La Maddukkelleng sebagai abdi itu mengeluarkan teriakan keras seraya mengayun pedang dengan dua tangan dalam lingkaran lebar.

Musuhnyapun mengeluarkan teriakan keras dan menyambut serangan dengan serangan. Keduanya mengadu nyawa. La Congkeng tetap punya kewaspadaan, lebih cerdik dibanding musuhnya yang memang mengajak mati bersama. Ia mengubah arah pedang menebas tangan musuh yang mengayun pedang.

“Crooot…..” Lengan tangan musuhnya terbabat putus, tapi pedang yang telah terayun itu mengenai bahu La Congkeng. Darah mengucur deras. Saat berikutnya, dengan satu tusukan kilat, Congkeng menancapkan pedang di dada musuhnya yang mati seketika.

Congkeng terhuyung lalu berlutut dalam posisi menancapkan pedang di tanah, ia bertumpu di situ. Lukanya cukup parah tapi ia memenangkan pertempuran. Ia hanya butuh perawatan beberapa hari.

Suasana hening setelah itu. La Maddukkelleng lalu berkata, suaranya terdengar keren penuh wibawa,

“Ayo, siapa lagi yang ingin membangkang dan menerima hukuman?” Tak ada suara yang menjawab, semua bajak laut anggota Wak Kannaco kini membuang pedang di tanah tanda menyerah. Menunduk dalam tak bergerak.

“Kuulangi, mulai saat ini, saya yang menjadi majikan pulau ini. Kalian harus patuh pada aturan yang nanti akan kutetapkan. Bagi yang melanggar akan dihukum berat!”

Tiba-tiba, dipimpin oleh bajak tua mereka berlutut. “Kami menyerah dan siap mengabdi kepada tuanku. Hukum laut mengangkat orang yang lebih kuat, lebih kokoh dari batu karang, dan lebih bergelora dari amukan badai. Kami siap menjadi dayung sampan bagi tuanku.” (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 4 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!