SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 86

DI TEMPAT itu, disaksikan Tunreng Talaga dan Bissu Tungke, kesemuanya lalu menyampaikan ikrar kesetiaan kepada La Maddukkelleng sebagai pemimpin mereka, raja yang mereka harus patuhi dalam keadaan hidup dan mati.

“Wahai Puengku, Engkaulah air dan akulah batang, maka mengalirlah segera biar kuikut kemana arahmu. Engkaulah jarum yang lurus dan akulah benang, maka menusuklah kemana kamu suka biar kujejaki telunjukmu. Engkaulah angin dan akulah daun, maka berhembuslah biar kugugur sekalipun kurela..” Demikian terjemahan bebas dari ikrar yang menggema di tengah hutan itu.

La Maddukkelleng mengangkat tiga orang pengawal utama yakni Ambo Pabbola, Cambang Balolo dan La Banna Balanipa. Sumpah setia itu juga ditandai ritual guyur air dari Bujung Paranie (sumur keramat Labuaja) oleh Tunreng Talaga. Sebuah upacara yang biasanya dilakukan para prajurit dalam misi untuk berperang sampai mati.

“Segeralah kalian berangkat. Saya akan mengutus orang ke Peneki dengan kuda, biar lebih cepat tiba dan menunggu kalian di sana. Ibunda dan Ayahandamu sudah menunggumu. Kabar keributan di Bone telah sampai ke sana. Hari ini juga kalian sudah harus bertolak dari Peneki. Orang-orang Bone besar kemungkinan telah mengerahkan tentara ke Tosora untuk memburu kalian. Pakailah perahu layar terbaik yang dimiliki Peneki. Jangan membuang waktu.” Bissu Tungke menyudahi ritual itu.

Tiga puluh lelaki yang rata-rata pemuda tanggung, yang kini telah disatukan dalam takdir passompe’ itu melangkah tegak meninggalkan hutan Labuaja. Mereka mengambil jalan terus ke arah timur dengan tetap menghindari perkampungan. Melalui hutan, mengitari danau-danau kecil dan menyeberangi anak-anak sungai.

BERITA TERKAIT :

Mereka berjalan tanpa banyak bersuara. Derap langkah yang seret seolah irama yang hanyut menembus senyapnya hutan. Melalui sebelah utara Tosora, kesatria-kesatria muda itu meneruskan langkah lurus terus ke arah Peneki. Mereka berhenti di batas perkampungan tak jauh dari sungai Peneki. La Maddukkelleng mengajak tiga pengikut utamanya untuk menuju istana. Sementara yang lain disuruh berjaga, menunggu arahan.

Kedua orang tuanya, Puengta La Mataesso dan We Tenri Angka telah menunggu. Tak banyak dialog antara mereka. Tenri angka memeluk anaknya yang berlutut di depannya. Sementara La Mataesso memegang bahu putranya seraya berkata, “Perahu layar telah disiapkan, puteraku. Segeralah berangkat. Engkau tentu telah cukup bekal lahir dan batin. Temui kakandamu Daeng Matekko di Johor, mulailah kehidupan di sana. Kembalilah membawa kejayaan. Lao sappa deceng lesu mappadeceng (berangkat mencari kebaikan, pulang menebar kemanfaatan)!”

“Iyye, Pueng. Saya memohon untuk terus didoakan dalam perjalanan. Bekal utamaku adalah doa dari Puengku berdua. Duae to ripajajiangku (dua orang tua yang menjadi musabab saya hadir dunia). Ananda berpamit.” Berkata begitu La Maddukkelleng memegang lutut kedua orang tuanya. Tak ada lagi kata-kata sesudahnya kecuali air mata yang makin tumpah dari Ibundanya.

Tak berapa lama, 30-an orang anak muda, kesemuanya laki-laki, menaiki sebuah perahu layar yang cukup besar. Hanya beberapa di antaranya yang terlihat dewasa. Selebihnya adalah anak muda remaja tapi dengan postur tubuh kuat, tegap dan penuh semangat. Tak ada yang mengiringi kepergiannya. Hanya seorang nahkoda Peneki beserta seorang anak lelakinya yang diijinkan ikut serta.

Seolah Peneki mengurung diri dalam diam melepas kepergian putera terbaiknya. Perlahan bahtera itu melepas sauh, bergerak dari menuju muara dan terus ke laut lepas Teluk Bone. Membawa impian dan semangat petualangan dari La Maddukkelleng, Wija Arung Peneki yang meninggalkan Tana Ugi dengan status pelarian. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 8 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!