SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 66

SEJAK peristiwa pelanggaran adat oleh La Cella’ Bissu Tungke’, ia tak pernah mau lagi ditemui oleh muridnya itu. Sepak terjangnya yang melanggar adat membuat sang guru kecewa. Padahal kemampuan dia masuk istana Siang dan menjadi salah satu bissu terpandang salah satunya karena ia adalah murid Karame’e Tompo Balease’.

Kesaktian para bissu istana Siang sudah jamak diketahui. Namun reputasi Bissu Cella’ sebagai pewaris ilmu-ilmu Karame’e membuat karirnya melejit menjadi penghulu para bissu yang sakti. Ia lalu mendapatkan julukan Bissu Tungke’, bissu tunggal. Dari sini kita bisa mengukur seberapa tinggi kesaktian bissu pelarian ini. Amanrapiseng (kesaktian) ilmunya telah mencapai Sulapa Arua (segi delapan).

Ia telah mampu melakukan mencak (silat) dengan kecepatan gerakan tinggi dan kemampuan memukul ke delapan penjuru dalam satu gebrakan. Tingkatan lemmung (tenaga sakti) yang dimilikinya mampu membuat tubuhnya tak mudah tersentuh oleh benda tajam. Dalam pandangan orang awam, senjata tajam apapun akan mental sebelum menyentuh kulit.

Lemmung yang terasah dengan olah napas dan penyatuan batin dari dasar jiwa ini memang menjadi salah satu ilmu andalan Karame’e Tompo Balease’. Jika dibangkitkan dengan pukulan-pukulan sulapa akan menghasilkan gempuran yang dahsyat. Kalau bertemu lawan yang lemah, akan tumbang sebelum datangnya pukulan. Demikian sekelumit tentang Bissu Tungke’ yang malam-malam datang berkunjung ke istana Peneki.

“Tuanku dipersilakan masuk, mari saya antar”,  penjaga itu mempersilakan dengan sikap menghormat.

Tanpa jawaban Bissu Tungke’ mengikut dari belakang. Mereka menaiki tangga utama menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat penerimaan tamu. Ini ruangan yang khusus untuk tamu tertentu. Ruang umum adanya di ruang depan yang luas yang berfungsi seperti paseban. Mereka melewati ruang ini dari sisi kiri yang agak remang. Beberapa pasang mata mengikuti mereka masuk ke ruang khusus.

Bissu Tungke’ berpenampilan tenang namun tetap memakai jubah yang menutupi tubuhnya sampai ke kepala.  Puengta La Mataesso sudah menunggu di sana bersama beberapa orang kepercayaannya. Saat Bissu Tungke’ masuk, Puengta langsung berdiri dengan senyum lebar dan merangkul pundak Bissu Tungke’.

BERITA TERKAIT :

“Ada angin baik rupanya di salassa (istana) malam ini. Pantas beberapa hari saya merasakan beberapa penanda baik. Saya kira terkait dengan kelahiran anakku. Ternyata sekaligus akan kedatangan orang yang hanya keberuntungan saja bisa membawa seseorang bertemu dengannya. Aga kareba, Jagoan tunggal Bulu Orai, Bissu Tungke’? Angin apa gerangan yang membawamu datang ke Peneki malam-malam?” Puengta La Mata Esso langsung menyemburkan demikian banyak pertanyaan. Terlihat jelas beliau sangat senang akan kedatangan orang aneh yang merupakan saudara seperguruan ini.

“Ampun beribu ampun, Puengku. Hamba tak memberi kabar selama ini. Hamba sedang dalam perjalanan tak menentu dari Tana Liu Talotenreng melalui Walennae saat mendengar Peneki sedang bersuka menunggu kelahiran sang putera. Hamba  lewat dan memutuskan untuk singgah menghaturkan sembah.” Bissu Tungke’ menundukkan tubuh dalam-dalam.

“Betul, saudaraku. Kami sedang menantikan kelahiran putera kami. Menjadi penanda baik karena engkau datang berkunjung.”

“Iyye, Pueng. Saya telah berumur jauh lebih tua dari Puengku. Maka hamba merasa Peneki adalah tempatku ingin mengabdi sampai tua jika mendapatkan ijin. Sampai saat ini hamba tak memiliki anak, dan istri hamba telah meninggal di Lampulung..” Sampai di sini Bissu Tungke’ menghela napas. Tergambar kedukaan yang sangat dari suara itu.

“Engkau adalah saudaraku, baik secara perguruan maupun kebersamaan waktu dulu. Saya mengucap belasungkawa atas berpulangnya Sang Puteri.” Istri Bissu Tungke dulu adalah seorang puteri kerajaan dari Gowa. Puengta La Mataesso melanjutkan, “Bukankah engkau telah banyak membantuku sejak dulu? Selalu terbuka tangan Peneki bagi Bissu Tungke yang mujarrabe’ (sakti mujarab).”

“Iyye, Pueng. Maksud hamba bukan menetap secara fisik. Tapi ingin menitipkan ilmu dan beberapa pusaka untuk sang putera yang sebentar lagi akan lahir. Hamba akan datang lagi berkunjung setelah lima tahun usia kelahirannya. Untuk itu ijinkan hamba menyerahkan sebilah badik yang selama ini tak pernah lepas dari pinggang, Gecong Pangkajenne.” Berkata begitu Bissu Tungke’ mengeluarkan sebilah badik bersarung indah dari balik jubahnya. Sejenak Puengta La Mataesso terperanjat.

Ia tahu, itu adalah senjata paling diandalkan Sang Bissu. Gecong Pangkajenne adalah pusaka dari Siang yang sangat bertuah. Bahkan ada yang menyebutnya terkutuk. Setiap keluar dari sarungnya, selalu berarti ada nyawa yang akan tercabut. Itulah badik paling mamoso (berbisa) yang pernah ada.

Bisa yang dikandungnya hanya mampu disejajarkan dengan Pedang Mangaribi milik kerajaan, Pedang Seribu Racun. Baginda memandang badik yang kini sudah di tangannya. Ukurannya cukup panjang, lebih dari selengan. Tersembur harum kayu cendana dari sarungnya yang berwarna hitam. Ia lalu berkata, (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 13 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!