SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

0 59

SEJAK peristiwa perang habis-habisan dengan Bone ditambah tekanan Persekutuan Tellumpoccoe, Peneki jadi semakin lemah. La Maddukkelleng merasa kehilangan pengaruh. Beberapa usulan kepada Arung Matoa tentang kebijakan politik Wajo tidak diindahkan. La Maddukkelleng yang dulu menjadi pahlawan Wajo, kini seolah menjadi beban Wajo.

Maka ia lebih banyak berdiam di istana bersama istri, anak dan cucunya. Ia kecewa pada sikap politik pemerintahan Wajo yang melunak pada Belanda. Perjuangan panjang yang pernah ditorehkannya demi menjadikan Kompeni Belanda sebagai musuh bersama di Tana Ugi menjadi kehilangan hasil.

Ia enggan keluar dan lebih sering di masjid kecil samping istana. Tak pernah menemui orang-orang kecuali keluarga dekat. Ia juga menolak untuk hadir di pengadilan Tellumpoccoe lagi. Tercatat, tak pernah ada putusan apa-apa terhadap dirinya yang didakwah dengan pasal berat yakni makar terhadap adat.

Kesehatannya merosot tajam. Tubuhnya yang dulu tegap dan kekar sempurna sebagai seorang pendekar pamencak kelas atas kini mulai terlihat kurus, garis-garis ketuaan semakin nampak meski ia tetaplah sosok yang memiliki pesona aura yang sangat kuat.

CERITA SEBELUMNYA :

Suatu hari selepas Jum’at, ia memanggil cucunya memasuki kamar pribadinya. Aji Imbut yang telah menjadi pemuda tanggung itu masuk disertai neneknya, Ratu Andin Anjang.

“Imbut, engkau kini telah dewasa. Semua ilmu kepandaian dan olah tenaga lemmung telah kuajarkan kepadamu. Pencapaian tingkatanmu tergantung dari ketekunanmu berlatih. Engkau harus lebih rajin menyempurnakannya, terutama untuk menghadapi La Sigajang dan La Melleng yang kini menjadi salah satu pembantu utama Aji Kado di Pemarangan. Saatnya engkau bersiap kembali ke Pemarangan Kutai untuk menuntut hakmu sebagai pewaris tahta yang sah. Pengikut ayahandamu yang setia masih sangat banyak. Baik yang bermukim di Wajo ini maupun yang ada di Pemarangan dan Samarinda. Saya selalu mengikuti perkembangan Kutai selama diperintah oleh Aji Kado. Pemangku adat Samarinda juga berkali-kali mengirim utusan ke sini untuk mengajakmu kembali ke Kutai. Dari informasi itu, saya juga mendengar pengikut ayahandamu dalam lingkungan keraton masih solid. Mereka tetap berharap kedatanganmu untuk mengambil hakmu. Nah, menurutmu bagaimana?”

“Iyye, Pueng. Saya mendengar. Dan demi harkat dan martabat darah yang mengalir dalam tubuhku, saya bersiap kembali ke Pemarangan sesuai nasehat Puengku. Mohon petunjuk berikutnya.” Aji Imbut yang duduk bersila di sudut ruangan berbicara dengan kata-kata tegas namun terdengar halus.

CERITA SEBELUMNYA :

La Maddukkelleng memandangi cucunya yang kini telah menjelma menjadi seorang lelaki cukup dewasa dan juga tampan. Dalam hatinya, ia ingin sekali menikahkan cucunya ini dengan salah satu puteri bangsawan di Wajo atau Gowa, namun ia tahu bahwa tugas putera mahkota Kutai ini sangat berat. Biarlah ia memilih jodohnya sendiri kelak saat tahta telah direbutnya.

La Maddukkelleng menghela napas. Wajahnya mengeras namun terlihat lebih teduh. “Baiklah, engkau carilah waktu yang tepat. Saya juga akan memilihkan beberapa pengawal terbaik untukmu dan memanggil Matoa Samarinda ke sini menjemputmu sekaligus merencanakan siasat berikutnya. Tapi sebelumnya, engkau berkunjunglah ke puncak Balease untuk bertemu dengan Karame’E Tompo Balease. Saya pernah berjanji satu waktu kembali ke sana untuk menghadap. Tapi sampai saya berumur tua begini, janji itu belum pernah saya penuhi. Engkau wakili diri saya menghadap. Sampaikan salam takzim ke beliau juga pesan bahwa kakekmu ini sudah melemah dan berada di penghujung senja. Mintalah petunjuk dan nasehat jika engkau beruntung bertemu dengannya.”

Aji Imbut kembali menjawab halus dengan membungkukkan badan. “Iyye, Pueng. Pesannya akan saya laksanakan sebaik-baiknya, insya Allah.”

Sejak pertemuan khusus di kamar pribadi Arung Peneki itu, La Maddukkelleng makin merosot kesehatannya. Berbagai tekanan batin yang diakibatkan oleh keadaan yang mengecewakannya membuat luka-luka dalam yang pernah didapatnya dalam pertempuran-pertempuran seolah kambuh kembali.

Ia terbaring lemah dalam kamarnya. Ia merasakan luka-luka dalam itu kembali menganga dan meneteskan darah di dalam dadanya. Saat semakin parah, ia memanggil anak-anaknya, cucunya, Andin Anjang termasuk tiga istrinya yang lain. Dengan suara terbata-bata dan lirih ia berkata, “Istriku dan kalian anak dan cucuku. Saya merasa jarum hidup yang diberikan Allah Ta’ala padaku sebentar lagi berhenti.

(BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 4 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!