OPINI : Lambatnya Kasus ‘Kerangkeng Manusia’ Bupati Langkat

0 676

KERANGKENG atau biasa disebut Kereng adalah ruang yang dibuat khusus untuk mengurung binatang, yang fungsinya sama dengan penjara pada umumnya. Namun bagaimana jika yang dikurung bukanlah binatang, melainkan manusia?.

Kasus Bupati Langkat ‘Kerangkeng Manusia’ baru-baru saja terjadi pada awal tahun 2022 yang menghebohkan media serta dunia maya, bahwa ditemukannya Kerangkeng Manusia di rumah Bupati Langkat yang sudah berdiri selama 10 tahun tanpa surat izin dari BNN.

Jumlah korban yang disekap mencapai 57 orang di dalam dua Kerangkeng terpisah, menjadi bukti kuat dari kasus ini. Mereka adalah pekerja Kebun Kelapa Sawit, milik Terbit Rencana Perangin-Angin.

Beberapa korban mengungkapkan bahwa mereka diperbudak seperti binatang, serta dianiaya dengan bukti bekas luka penganiayaan yang jelas sudah melanggar hukum menurut Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 2007 yang isinya ;

Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Baca Juga :

 Serta Pasal 7 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Para korban juga mengatakan mereka tidak mendapatkan upah gaji setelah 10 jam bekerja, dimana di Pasal 93 ayat 2 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) mengatakan bahwa “Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh’.

 Bupati Langkat juga dijerat transaksi Uang suap yang menambah kasus ini menjadi lebih disorot media, serta seberapa seriusnya kasus ini.

 Korupsi serta pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM), harusnya sudah menjadi alasan kuat untuk memprioritaskan kasus ini. Namun oknum pihak berwajib seakan memperlambat penyelidikan, membuat orang-orang berspekulasi bahwa oknum penegak hukum ikut andil dalam kasus Kerangkeng Manusia.

5 Tahun atau lebih adalah syarat untuk menahan para tersangka yang sudah ditetapkan oleh Kepolisian. Melihat dari Pasal yang telah kita baca di atas, harusnya mereka sudah mendapat ancaman setidaknya 15 tahun. Tapi apa mereka sudah ditahan? Tidak.

Alasan lain mengapa kasus ini dianggap lambat adalah, karena bukti yang cukup serta adanya korban yang buka mulut atas tindakan apa saja yang telah mereka alami, sudah menjadi bahan yang kuat untuk menjerat para pelaku yang tidak memiliki rasa kemanusiaan.

Namun hampir 3 bulan sudah kasus Kerangkeng Manusia ini berjalan, sampai saat ini Kepolisian belum menahan satupun tersangka yang telah ditetapkan. Harusnya Kepolisian sudah melakukan penahanan terhadap 8 tersangka, yang telah ditetapkan.

Padahal sudah jelas kasus ini adalah kasus yang serius mengingat adanya “Korupsi, Kekerasan, Perbudakan Modern, Kerja Paksa, serta Perdagangan orang”.

Lalu apa yang membuat kasus ini dianggap lambat?.

Banyak pihak yang berspekulasi, bahwa ada keterlibatan oknum anggota TNI-Porli serta karena status kekuasaan Bupati yang membuat ‘kinerja’ Penyelidikan terhambat. Namun Polda Sumatera Barat membantah asumsi ini, dan mengatakan mereka sudah memegang 3 nama dari 6 orang yang diduga ikut berpartisipasi dalam kasus Kerangkeng Manusia.

Harapannya kasus ini segera diproses dengan cepat, agar korban tidak memandang penegak hukum bertele-tele hingga mereka tidak mau memberikan kesaksian. Karena berfikir bahwa hal itu percuma, melihat bagaimana kinerja penegak hukum Indonesia dianggap kurang maksimal saat berhadapan dengan pejabat serta ‘orang-orang tinggi’ lainnya.

Hak serta kemerdekaan manusia adalah hal yang jauh lebih penting dari kekuasaan. Tidak hanya itu, rakyat adalah prioritas pertama Negara, bukan pejabat serta ‘orang-orang’ tinggi lainnya.

Korban berhak tidur tenang, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi di esok hari.

Semoga pihak penegak hukum memberikan hukuman yang setimpal, dengan apa yang telah mereka lakukan kepada para korban yang telah dirugikan. (DETAKKaltim.Com)

Penulis : Rosselini Emyr Shan

Mahasiswi Universitas 17 Agustus Samarinda

Fakultas Hukum

(Visited 12 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!