SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

AMBO Pabbola yang berada dekat tuannya itu terkesima. Itulah silat Sulapa yang telah mencapai tingkat tertinggi yang hanya didengarnya dari La Banna dan beberapa kali sepintas disaksikannya di pertempuran-pertempuran kecil. Bahwa jika telah mencapai puncaknya, jarang senjata yang mampu menggores kulit pemiliknya.

Silat Sulapa akan menemukan keampuhannya jika dimainkan dengan pengerahan Lemmung Manurung, sebuah kekuatan sakti khas turunan dari Karame’E Tompo Balease, manusia setara manurung dari pengunungan utara Tana Luwu.

Maka kini paduan Silat Sulapa dengan pengerahan lemmung itu dimainkan secara sempurna oleh La Maddukkelleng. Kemana pun ia bergerak, maka barisan penyerang terjengkang seperti daun kering beterbangan disapu angin berpusaran. Namun musuh terlampau banyak.

CERITA SEBELUMNYA :

Tak mungkin merobohkan mereka semua oleh satu orang, betapa pun saktinya, tameng-tameng pertahanan manusia berlapis-lapis. Maka ia lalu berdiri di sebuah batu yang tinggi dan berteriak nyaring mengerahkan ilmu Paggerak-nya menyuruh pasukan Wajo untuk maju.

“Iko To Wajoe, Akkatenning massekko ri tongengnge, ewai sirimu, Assiwajoriwi pakkullengmu..

Attuppuko ri Tanae, bitara macora teddungmu,

Lise’ api ri aterekeng atimmu,

Pangadereng tokkong ri ati marilalengmu,

Teng labu essoe ri tengngana bitarae.

Dewata Seuwwa passukkuko rimusumu,

Allahu Akbar..”

 

“Engkau orang Wajo, berteguhlah kalian dalam kebenaran,

Bela harga dirimu, satukan kewajoanmu..

Tancapkan kakimu di bumi, langit adalah junjunganmu yang akan menerangi, inti dari api ada di keteguhan hatimu,

Nilai luhur adat berdiri dalam hatimu paling dalam.

Takkan tenggelam matahari di siang bolong.

Allah Yang Esa menyempurnakanmu dari musuhmu!”

Allahu Akbar…!!

Suara La Maddukkelleng terdengar menggema mengalahkan suara desingan senjata beradu. Merinding bulu roma mendengarkan teriakan kalimat yang terdengar keras membahana bagai puisi perang yang berlomba dengan amuk kematian yang menyapu sekeliling. Berkali-kali diulang-ulangnya. Orang-orang yang bertempur mendengar suaranya seolah datang dari pucuk-pucuk pohon tinggi di sekitar tempat itu. Menggema memenuhi udara dan berputaran ke sana ke mari bagai ruh yang memperistiwai segala yang bergerak di tempat itu.

CERITA SEBELUMNYA :

Perang itu adalah klimaks peperangan yang melibatkan Wajo beserta pasukannya dari seantero negeri melawan Bone beserta aliansinya, Belanda, Soppeng, Luwu, Buton, Ternate, Ajattapareng dan negeri-negeri lainnya.

Tapi kali ini Wajo telah memiliki semangat berlipat-lipat. Ketika La Banna To Assa dan La Pallawa Gau Petta Pillae telah sampai dari Tampangeng, maka semangat pejuang Wajo makin berlipat-lipat, bertambah kuat seperti mendapatkan dua nyawa dalam tubuh-tubuh mereka yang berkeringat. Perlahan aliansi Bone terpukul mundur. Mayat-mayat bergelimpangan sepanjang jalan.

Pasukan Wajo terus mengejar sampai jauh memasuki wilayah Cenrana utara. Pasukan Belanda juga porak poranda. Sepanjang jalan mundur, mereka diserang secara sporadis oleh orang-orang yang bermukim di pinggiran sungai Walennae. Kemenangan mutlak diraih. Orang-orang Belanda berlarian jauh ke Bone.

Banyak senjata disita, pun meriam-meriam. Seluruh Wilayah Wajo kini telah bebas dari cengkeraman Bone dan Belanda. La Maddukkelleng dan pasukan terus merangsek masuk Bone sampai Palakka. Beberapa tempat telah terbakar. Sesampai di istana Latimojong, La Maddukkelleng meminta Bone untuk mengembalikan segera seluruh sebbukati (persembahan) Wajo yang pernah diberikan kepada Bone pada masa pemerintahan Arung Palakka.

Bone tak mampu menolak, Wajo beserta pasukannya telah menang telak. Seluruh persembahan Wajo dikembalikan, bahkan daerah-daerah seperti Bone Utara, Sawitto, Massepe, Enrekang, dan Duri menempatkan diri di bawah perlindungan Wajo.

Wilayah Wajo bertambah jauh termasuk Cenrana bagian Bone sebelah utara. Agustus 1737 ketika itu, di mana La Maddukkelleng mendapatkan gelar baru sebagai Petta Pammaradekaengngi Tana Wajo (Paduka Sang Pembebas Negeri Wajo).

La Maddukkelleng kembali membangun Ibukota Tosora. Juga menambah kekuatan bersenjata. Ia sangat sadar, Belanda akan melakukan pembalasan atas kekalahannya. Ia lalu meneruskan menggalang kampanye yang menempatkan Belanda sebagai musuh bersama kawasan selatan Sulawesi.

Akhirnya perlahan, Bone dan Soppeng tersadar dan memahami idenya. Hanya karena kuatnya cengkeraman Belanda terhadap raja yang sedang berkuasa membuat kesadaran itu masih tersimpan di dalam hati.

La Maddukkelleng mencapai kemasyuran sebagai tokoh utama di Sulawesi Selatan di abad ke-18, kurang lebih menyamai pengaruh Puengta La Tenri Tatta Petta Torisompae di abad ke-17. Ideologi sumpung ugi (sempugi) dan sumpung lolo yang dicetuskan oleh Arung Palakka kembali digelorakan oleh La Maddukkelleng.

Ia lalu mencetuskan pertemuan kembali Tellumpoccoe beberapa bulan setelah kemenangan itu. Lewat musyawarah puncak pada November 1737, Baginda La Maddukkelleng menegaskan kembali gagasan mattellumpoccoe dengan basis kesadaran ideologi sempugi. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 14 times, 1 visits today)
#La MaddukkellengArung PenekiSang Pembebas
Comments (0)
Add Comment