SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

LA MADDUKKELLENG mencoba untuk mengasoh sekadar menghilangkan penat dalam kamar itu. Menunggu malam tiba di mana akan diadakan penyambutan perjamuan khusus dari Raja Kecil. Tapi begitu banyak yang mengganggu batin dan pikirannya.

Matanya enggan diajak terpejam. Ia bergulingan kiri kanan di atas kasur empuk berlapiskan kain beludru kuning. Semilir angin menerobos jendela yang menghadap laut mendatangkan godaan untuk bangun. Sore telah beranjak jauh dari ashar. Sebentar lagi senja datang. Dia bangkit menuju jendela dan berpegangan di kedua bingkainya. Semburat cahaya siluet merah kekuningan menyambutnya dari sana.

Ia memandang jauh ke arah laut, menyapunya sampai ufuk terjauh di mana matahari sebentar lagi sejajar horizon. Indah memang. Tapi pemandangan begitu adalah hal biasa di Puau Tuah. Ia melempar pandangan ke arah kiri yang tertutupi oleh nyiur pantai yang rebah hampir menyentuh pasir.

Saat itulah dia melihat sebuah perahu hias dalam ukuran lebih kecil namun terlihat panjang. Naik turun mengikuti irama ombak kecil menuju ke arah kanan pulau. Perahu yang indah pikirnya. Ia memandang lebih teliti. Beberapa penumpangnya terlihat berpakaian warna warni. Semuanya perempuan. Perahu makin mendekat sejajar dengan rumah. Tak terlalu jauh dari pantai.

La Maddukkelleng penasaran. Ia melompat keluar lewat jendela menuju rumpun kelapa yang paling dekat dengan bibir laut. Perahu semakin dekat tak sampai dalam sepelemparan batu. Bahkan terdengar cukup jelas suara penumpang perahu yang berlomba dengan suara debur ombak dalam canda gadis-gadis. La Maddukkelleng memberanikan diri keluar dari tempatnya. Makin mendekat ke arah laut, jarak dia dengan perahu itu semakin dekat.

Pada saat bersamaan seorang perempuan terlihat keluar dari bilik perahu. Pakaiannya merah dan terlihat berbeda dengan penumpang lain. La Maddukkelleng mematung melihat mereka melintas tak jauh di depannya. Bahkan ia lupa membalas senyum saat beberapa penumpang tersenyum dan menjura ke arahnya. Termasuk wanita semampai yang bersahaja itu.

La Maddukkelleng terpukau. Jarang ia melihat gadis secantik itu di Wajo. Lama ia berdiri memandang dengan mata hampir tak berkedip sampai perahu itu benar-benar menjauh. Siapa gerangan wanita cantik di perahu itu? Ia masih termangu seorang diri ketika La Banna To Assa datang dari arah belakang dan memberi hormat.

“Tabe, Puengku. Yang barusan lewat itu adalah rombongan adik bungsu Raja Kecil. Kami sudah melihatnya saat mereka memutar tadi. Kata penduduk pulau namanya Putri Hindun Jamilah. Dia sangat cantik dan sepertinya Puengku sudah melihatnya.” La Banna meski berkata sambil menjura, tapi ada nada menggoda di kata-katanya.

“Ah, kamu bisa saja, Banna. Tapi, saya memang tak pernah melihat gadis secantik itu. Kita terlalu lama di air, sampai kadang melupakan daratan hehe..” La Maddukkelleng tertawa renyah. Tawa seorang lelaki yang sudah sangat matang.

CERITA SEBELUMNYA :

Setelah itu entah mengapa La Maddukkelleng lantas tak sabaran untuk segera ke acara perjamuan yang disiapkan Raja Kecil untuk mereka. Pikirnya, Si Puteri itu pasti hadir nanti malam. Dia segera naik ke rumah untuk bersiap-siap. Mandinya pun lebih bersemangat, sambil bersiul-siul.

Saat menyadari tingkahnya, dia senyum sendiri. Inikah yang disebut jatuh cinta? Seperti yang sering ia dengar dari para pengawalnya yang rata-rata sudah mempunyai istri? Ah, bukan. Jatuh cinta itu akan memperlemahmu! Batin kelelakiannya membantah.

Ia mengingat kisah prahara gurunya yang menjadi pelarian sepanjang hayat karena urusan wanita. Namun ia terus saja bersiul bahkan saat telah selesai mandi dan masuk kamar.  (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
#La MaddukkellengHindun JamilahRaja KecilSang Pembebas
Comments (0)
Add Comment