SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

“Serbuuuu…..!” Bersamaan aba-aba itu, puluhan anak buahnya serentak bergerak menyerang rombongan La Maddukkelleng. Terjadi perkelahian seru. La Banna dan lainnya menyambut dengan berani. Sebentar saja terdengar suara senjata beradu dengan bising bercampur teriakan-teriakan dari kedua belah pihak.

Wak Kannaco melanjutkan serangan dengan memutar tubuh satu langkah ke arah kiri sebagai pancingan tapi lalu disusul sabetan maut tak terduga mengarah leher. Tangan kiri berbarengan mengirim cengkeraman ke bawah selangkangan. Dari dadanya keluar suara mendengus tanda tenaga dalam membarengi serangan itu. Brutal dan ganas.

Diarahkan untuk sekali kena akan mati. Ciri khas silat penjahat kejam, tak ingin berlama-lama bertempur dan membunuh dengan cara apa pun juga. Sepanjang menjadi bajak laut, tak terhitung berapa nyawa sudah melayang di tangannya dalam satu gebrakan seperti itu. Selama itu pula belum pernah ia menemui lawan tanding.

Berpuluh tahun dalam petualangan sepanjang pantai utara Sulawesi sampai Mindanau, ia sangat jarang bertemu lawan yang sepadan. Pengalaman pertempuran yang banyak dilakukannya, membuat ia mempelajari sekaligus menciptakan banyak ilmu. Di antara ilmu-ilmu yang diandalkannya adalah permainan pedang yang dikombinasi dengan berbagai inti silat yang dikuasainya. Dan kini, ia langsung memainkan unru (jurus) paling ampuh dari ilmunya.

CERITA SEBELUMNYA :

Tapi yang dihadapi kini adalah pemuda gemblengan dari Peneki. Kesatria Wajo yang menjadi kesayangan Bissu Tungke’ dan telah mendapatkan bimbingan dari dua manusia setara manurung yakni Karame’E Tompo Balease dan Tunreng Talaga penghuni Hutan Labuaja. La Maddukkelleng sadar serangan berbahaya, ia menapaki semua tanpa menghindar. Keras lawan keras.

Berbarengan datangnya pedang ia melakukan dorongan dengan dua lengan seraya mengerahkan tenaga sakti. Lemmung jiwa disalurkan melalui dua lengan dengan tiga perempat kekuatan. Tidak sepenuhnya. Tangan kiri menghantam pergelangan sementara tangan kanan menyerbu dada.

“Duaarrr…!!” Akibatnya luar biasa sekali. Pedang Wak Kannaco patah dan terlempar jauh. Sementara dorongan ke arah dada mengenai pundak. Meski tidak telak, cukup membuat Wak Kannaco terjungkang dan jatuh berdebug dengan posisi terlentang. Napasnya tersengal, matanya mendelik. Tapi ia masih kuat berdiri, lalu merogoh sesuatu di pinggangnya.

Sepucuk senjata api pistol ia keluarkan. La Maddukkelleng kaget dan mengenal benda berbahaya. Hanya raja-raja dan orang Belanda yang punya senjata seperti itu. Cepat laksana kilat ia bergerak. Sebelum pelatuk ditarik, ia telah mengirimkan sambitan badiknya ke arah musuh.

“Crooookk..” Gecong Pangkajenne itu bersarang telak di lengan Wak Kannaco yang memegang pistol. Lengan itu seketika lumpuh terkulai, pistol terlepas terlempar cukup jauh. Tapi Wak Kannaco memang bukan nama kosong belaka. Ia biarkan lengan kanannya lumpuh oleh badik yang ia tahu sangat berbisa itu.

Ia cabut badik itu dengan tangan kiri dan nekat menyerbu ke arah La Maddukkelleng disertai luncuran tikaman badik yang mengarah ke dada. Serangan ini jelas ingin mengadu nyawa, Wak Kannaco sama sekali tak menghiraukan pertahanan diri. Ia terus meluncur cepat ke arah La Maddukkelleng. Serangan ini brutal dan ganas.

Angin berdesir di sekitar tempat itu. La Maddukkelleng sadar akan serangan nekat. Ia melompat mendahului, dan sebelum serangan tiba, kakinya telah melakukan tendangan kilat dari samping menghantam lengan kiri yang memegang badik.

“Plakkk..!” Tendangan tepat mengenai sambungan siku. Keras, tapi tangan itu tiba-tiba seperti melunak. Kaki La Maddukkelleng seolah menendang karet yang lentur. Dalam hati ia mengakui Wak Kannaco memang seorang sakti.

Dia memiliki lemmung aneh yang membuat tangan dan kulitnya seperti karet yang licin dan alot. Belum selesai berpikir, tiba-tiba badik di tangan Wak Kannaco bergerak membalik dan menikam dengan cepat ke arah dada. La Maddukkelleng melakukan gerak reflek dengan merapatkan tubuh dan menyambut lengan yang memegang badik, meminjam tanaganya lalu memutar dengan dua tangan.

Ia menekuknya dengan cepat. Dan sebelum Wak Kannaco sadar apa yang terjadi, badik gecong pangkajenne telah bersarang di dadanya sendiri. Telak dan menghunjam tembus sampai ke belakang. Nampak ia seolah menikam dada sendiri. Ia ambruk, berkelojotan sebentar lalu mendelik dan roboh ke tanah. Ia mati sebagai petarung pulau yang bertemu tanding lebih kuat. Hening sejenak.

La Maddukkelleng mencabut Gecong Pangkajenne dari tubuh besar Wak Kannaco. Membersihkannya dengan sapu tangan. Tapi aneh, tiada darah di sana. Ia seperti membersihkan dirinya sendiri. Ia memandang Gecong Pangkajenne miliknya. Sekali lagi ia saksikan betapa badik panjang penuh moso ini memakan korban. Ia menghela napas dan memandang sekeliling.

Melihat pimpinannya tewas, beberapa anak buah bajak mundur dan melompat ke belakang. La Banna dan Ambo Pabbola masih mengamuk menghadapi keroyokan banyak orang yang ternyata rata-rata berilmu cukup tinggi. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 13 times, 1 visits today)
#La MaddukkellengSang PembebasWa Kannaco
Comments (0)
Add Comment