SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

SETELAH sehari semalam pelayaran mereka tiba di salah satu pulau kosong saat tengah malam. Oleh bajak Congkeng, mereka disarankan membuang jangkar di sebuah teluk kecil mirip muara di ujung timur pulau. Tempat itu terlindung dari luar, kanan kiri adalah tebing-tebing tinggi.

Meski berada di pinggir pulau, air lautnya dalam, namun hampir tak ada ombak yang sampai ke bagian dalam teluk. Susana tenang tapi juga terasa angker karena malam hari. Namun pulau ini indah bukan main oleh bulan terang yang memantulkan cahaya.

“Sebaiknya kapal besar ini dilabuh di sini, Pueng. Ini pulau terluar dari pulau-pulau yang banyak di tempat ini. Tak ada yang menghuninya. Kalau mau langsung ke Pulau Tuah sebaiknya memakai kapal kami saja, biar tidak mendatangkan kecurigaan.” Bajak Congkeng memberi penjelasan.

“Berapa lama waktu untuk sampai ke sana?” La Banna bertanya.

“Dari sini, sampai di sana hampir pagi.”

“Bagaimana petunjuk, Puengku?” La Banna bertanya. Menunggu pendapat atau tepatnya keputusan dari La Maddukkelleng.

“Malam ini juga kita ke sana, kalau bisa pagi kita serang. Kita bawa seluruh kekuatan. Kita bagi dua, sebagian di kapal ini sebagian lagi di kapal rampasan. La Banna bersama Ambo Pabbola di kapal itu. Biar saya dan Cambang Balolo di sini. Ayo, angkat kembali jangkar dan ganti tim pendayung yang lebih tangguh!”

CERITA SEBELUMNYA :

Ini adalah perintah. Tak ada yang menyanggah atau bertanya lagi. Segera atur pasukan, tim dayung diganti, jangkar diangkat dan perlahan dua kapal itu beriringan menuju utara berdasarkan arah yang ditunjuk oleh Bajak Congkeng. Kapal rampasan di depan dikendalikan La Banna bersama Ambo Pabbola dan tujuh orang pasukan, sementara La Maddukkelleng dan lainnya di kapal utama.

Menurut Congkeng, hampir pasti Si Uwak dan anggota bajak utama semua berkumpul di Pulau Tuah. Perairan sedang musim badai. Angin timur utara sedang berkecamuk. Mereka biasanya lebih betah bersenang-senang dan beristirahat di Pulau.

Malam itu, cuaca cukup bersih, meski memang ombak tetap besar. Tapi karena pelayaran sudah dalam kawasan pulau-pulau, relatif teduh dan perahu meluncur pasti. Kawasan itu unik dan sepertinya memang susah dikenali rutenya di malam hari jika tak terbiasa. Pulau-pulaunya tersebar dan mirip antara satu sama lain.

Dalam malam yang gemerlap oleh pantulan cahaya bulan, pulau-pulau itu seperti bulatan-bulatan bola mengapung yang berbalut jubah hitam yang merumbai. Perahu bajak Congkeng yang dikendalikan La Banna meluncur deras. Para pengikut La Maddukkelleng itu adalah tenaga pendayung yang tangguh.

Pinisi memungkinkan didayung oleh dua puluh orang. Sepuluh di masing-masing sisi, tapi personil terbatas, hanya dikayuh oleh delapan orang, empat di kiri dan empat lainnya di sisi kanan kapal. Dua iringan kapal itu kadang memutar di antara pulau kecil, mengitari dan menghindari karang.

Hanya orang yang memahami seluk beluk perairan kepulauan itu yang bisa melaju dan menghindari kandas atau menabrak karang. Kawasan itu memiliki batu-batu memanjang mengikuti lekukan pulau. Beberapa bagiannya dalam bertebing ekstrem sementara di tempat tertentu dangkal terlihat dasarnya yang indah.

Saat air surut, karang-karang itu membentuk daratan baru dengan permukaan yang acak, mengkilap dan kokoh. Dalam kemunculannya, karang itu menjadi penyambung pulau-pulau yang hanya terpisah oleh sungai-sungai laut dalam di sela-selanya.

Sesuai penuturan Bajak Congkeng, hampir pagi saat mereka tiba di perairan yang lebih dalam dan luas. Di depan mereka terlihat tiga pulau yang hitam tinggi. Terlihat angker kokoh. Tujuan mereka adalah pulau tengah yang tinggi. La Congkeng menunjuk arah pas ke tengah pulau di mana ketinggian daratannya menjulang.

Masih samar cahaya pagi, namun cukup sebagai penanda jalan. Seluruh awak dan anak buah dalam keadaan siap dengan senjata saat mereka masuk melalui terowongan pulau yang luas. Pulau itu memiliki gerbang terowongan. Gunung yang terlihat menjulang tadi adalah tebing batu yang berongga.

Diameternya lebar, cukup untuk kapal berpapasan. Samar-samar mereka melihat beberapa perahu dan satu kapal besar di keremangan fajar. Atas petunjuk bajak Congkeng, mereka mendarat agak jauh dari dermaga alam itu. Kekuatan penuh tiga puluh tiga orang dengan sikap siap tempur. Tak ada yang tersisa di kapal. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 2 times, 1 visits today)
#La MaddukkellengBajak CongkengSang Pembebas
Comments (0)
Add Comment