SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

MEREKA berusaha mencari jalan untuk meloloskan diri. Namun waktu sangat mepet. Sementara cahaya matahari pagi sudah terang dan tampaklah pemandangan di atas kapal dengan jelas. Beberapa bajak telah melompat ke laut. Sementara yang masih melakukan perlawanan karena terkurung tinggal tiga orang.

“Tangkap mereka hidup-hidup. Jangan biarkan lolos!” Berkata begitu La Banna melompat jauh ke arah samping kiri kapal. Baru terlihat kini perahu para perompak tertambat di sana. Begitu mendarat di perahu yang cukup besar itu, La Banna segera disambut serangan oleh sisa kawanan bajak yang berusaha lari itu.

Ada tiga orang di sana. Perkelahian maut segera terjadi. Tapi La Banna terlalu lihai bagi mereka. Dalam sekejap mereka telah tergeletak mati oleh senjata mereka sendiri. La Banna selama ini belum terlihat mencabut senjata. Beberapa yang menyaksikan sepak terjangnya sejak tadi melihat bagaimana dengan mudahnya ia menangkis senjata musuh dengan tangan kosong. Menyampoknya atau merebut dengan mudahnya.

Mulai saat itu ia dijuluki sebagai to masse’ olina (si pemilik kulit yang tahan bacok). Padahal apa yang dilakukannya adalah hasil latihan tenaga dalam yang disalurkan ke kedua lengannya sebagai tenaga sakti. Pada tingkat yang telah dicapai oleh La Banna, tenaga sakti itu bisa membuat kedua tangan keras dan kebal senjata tajam. Jadilah lengan yang memang telah berpelindung gelang baja itu sangat ampuh.

Pencapaian La Banna saat itu dalam tenaga lemmung ini mungkin hanya berselisih satu tingkat di bawah La Maddukkelleng yang telah terdidik khusus oleh Bissu Tungke yang lalu disempurnakan oleh Karame’e Tompo Balease. Julukan to masse’ olina itu lama-lama lalu tersingkat menjadi To Assa’, si kulit kuat.

Tidak mudah menangkap hidup-hidup bajak laut yang terbiasa dengan pertarungan maut. Meski tinggal bertiga, sisa penjahat itu gigih melakukan perlawanan bahkan sempat membuat salah satu pengeroyok bersimbah darah. Tiba-tiba terdengar suara La Maddukkelleng perlahan,

“Mundur kalian..” bersamaan dengan itu La Maddukkelleng mengirim dorongan tiga kali berturut-turut. Terlihat perlahan saja. Namun entah bagaimana caranya, tiga rompak itu merasa digulung ombak besar. Dan pada detik berikutnya golok mereka telah lepas beterbangan.

Mata mereka berkedip kaget oleh berkelebatnya bayangan hitam yang menyambar wajah mereka. Rupanya itu kain pengikat kepala yang disampokkan La Maddukkelleng. Tak sempat mereka sadar pada rentetan gerakan berikutnya, karena pemandangan sudah gelap. Tiga pukulan di dagu, di tengkuk dan leher telah membuat mereka pingsan.

“Ikat mereka dengan kuat!” La Maddukkelleng memberi perintah yang segera dilakukan oleh beberapa anak buahnya. Tiga bajak itu diikat kedua tangan yang ditekuk ke belakang lalu di satukan di tiang besar layar utama. Dibiarkan dalam keadaan pingsan.

BERITA TERKAIT :

La Maddukkelleng memeriksa seluruh kapal. Dia kehilangan empat anak buah. Sementara mayat para perompak ada sebelas orang, empat belas dengan yang terikat di geladak. Saat berikutnya La Banna sudah di atas kapal dan menghampiri La Maddukkelleng.

“Mereka mungkin perompak yang biasa berkeliaran di pulau-pulau kosong yang banyak tersebar di sekitar sini, Pueng. Ini artinya kita jauh melenceng dari rute pelayaran. Kalau dugaan saya tidak keliru, mereka ini anak buah Wak Kannaco yang ditakuti para nelayan dan kapal-kapal dagang. Perahunya berkepala naga merah.”

“Siapa Wak Kannaco itu?” La Maddukkelleng bertanya. Keningnya yang lebat berkerut memperlihatkan keseriusan.

“Dia pemimpin segala bajak laut di Selat Makassar ini, Pueng. Dia dan puluhan anak buahnya pernah menyerang beberapa kampung di Majene. Waktu itu ayah saya yang diberi tugas oleh Mara’diah Balanipa mengejarnya sampai ke tengah laut untuk dihukum. Tapi mereka sangat licin dan memiliki perahu bintak yang laju. Wak Kannaco sendiri ternyata seorang yang berilmu tinggi. Ekspedisi ayah itu gagal kecuali satu informasi bahwa mereka berdiam di gugusan Kepulauan Hantu jauh di utara dan memiliki perahu berkepala naga merah sebagai ciri khasnya. Kepala perahu itu dipasangi pendobrak untuk merusak kapal yang diserangnya.”

Si bajak tersungkur. “Kamu ditanya oleh Puengta La Maddukkelleng. Jawab sebelum saya cungkil matamu!”

“Ayo jawab, kamu dari kelompok mana?” La Banna ikut berbicara. Ketiganya tetap menutup mulut. Namun kini mereka nampak agak gentar karena mereka tahu yang bertanya ini adalah pembunuh pimpinan mereka. Tapi mereka telah terbiasa dengan kekerasan dan pertempuran.

“Kami telah gagal merampok kalian. Hukum laut menyebut yang menang akan hidup dan yang kalah akan mati. Segera bunuh saja, kami tidak takut!” Yang berbicara adalah yang paling gemuk di antara mereka. Suaranya bergumam tapi jelas terdengar.

“Baik, engkau meminta kematian. Pisahkan ikatannya, beri pemberat lalu lempar ke laut.” La Maddukkelleng memberi perintah. Si gemuk brewokan itu diikat terpisah dengan tangan masih menelikung ke belakang, diberi batu pemberat, meronta-ronta. Lalu tanpa ba bi bu Cambang Balolo melemparnya ke luar.

“Byuuurrr..….”

Terdengar suara laut menerima tubuh gembulnya. Dua temannya yang tersisa terbelalak melihat kejadian itu. Mereka menelan ludah. Orang-orang ini tak bertele-tele, membunuh tanpa basa basi, demikian batin mereka.

“Tot.. tolong jangan bunuh. Kami siap bicara..” Si bajak yang lebih kurus bicara dengan suara gagap. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 6 times, 1 visits today)
#La MaddukkellengLa BannaSang Pembebas
Comments (0)
Add Comment