SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

INI seperti merefleksikan abad La Galigo dengan romantisme Welanreng, perahu besar Sawerigading yang berlayar jauh ke ujung dunia. Mengukir sejarah dan jejak kehidupan anak manusia yang terwariskan sebagai pesan jaman.

Waktu itu, yang memerintah Bone adalah La Patau Matanna Tikka yang bergelar Sultan Muhammad Idris Adimuddin (1696 – 1714). Ia menggantikan Pamannya, Arung Palakka Petta Torisompae sebagai Raja Bone sekaligus pewaris kejayaan Bone atas Gowa dan sekutu-sekutunya. Ia salah satu Mangkau (Raja) Bone yang besar.

Jika pendahulunya, Arung Palakka berhasil membebaskan Bone dari keterjajahan dan penindasan Gowa, maka La Patau secara gemilang menjadikan Bone sebagai negara hegemonik di daratan Sulawesi bagian selatan dan tenggara. Bone telah menjadi pusat kekuasaan politik Tana Ugi saat itu. Posisi internasionalnya kokoh sebagai sekutu yang sejajar dengan Belanda.

Sejak perjanjian Bongaya ditandatangani, yang menempatkan Belanda dan Bone sebagai pemenang atas Gowa-Tallo, Bone adalah representasi hampir seluruh kerajaan di Celebes Selatan. Semua kerajaan yang memiliki kepentingan bilateral dengan negara luar khususnya dengan Belanda VOC, harus melalui Bone yang memiliki kantor perwakilan di Makassar. Semacam kantor besar persemakmuran Bone.

La Patau sebagai Raja Bone memiliki visi besar mempersatukan kerajaan-kerajaan di kawasan Bugis Makassar. Atas hegemoninya itu, selain Raja Bone, ia sekaligus merangkap Datu Soppeng dan juga Ranreng Tua Wajo. Dalam upayanya membangun koalisi politik serumpun, ia melakukan banyak pernikahan dengan puteri-puteri bangsawan dari kerajaan-kerajaan sekitar.

Strategi ini adalah lanjutan dari kebijakan Arung Palakka yang membangun ideologi Sumpung Ugi (sempugi) melalui perkawinan. Ia misalnya menikahi cucu sultan Hasanuddin yang bernama I Mariama karaeng Patukangang. Putri Sultan Abdul Jalil Raja Gowa ke-19. Sebelumnya, ia telah mengawini We Ummung Datu Larompong, putri dari Settia Raja Pajunge (raja) Luwu Matinroe ri Tompo Tikka. Berturut-turut ia menikah lagi dengan puteri Datu Baringeng, We Rakiyah di Bantaeng sampai puteri Unynyi dan lainnya.

Tercatat setidaknya sebanyak dua puluh kali Baginda La Patau menikah dengan berbagai puteri-puteri bangsawan raja dari rumpun yang berbeda. Keseluruhan pernikahannya ada yang menyebutkan puluhan kali dengan berbagai segmen wilayah dan politik.

BERITA TERKAIT :

Selain dirinya sendiri, ia juga mendorong perkawinan-perkawinan politik antara anak-anak bangsawan Bone, Gowa, Luwu dan lainnya. Ini adalah pencairan bauran politik melalui perkawinan. Terbukti kemudian setelahnya, pembauran sekat melalui kawin mawin ini menghasilkan banyak perdamaian dan afiliasi kekuasaan politik terwujud berkat hubungan-hubungan kekeluargaan yang disebut Ssumpung Llolo dan juga Ssumpung Ugi, dua jargon ideologis yang telah dirintis jauh sebelumnya oleh Arung Palakka, maharaja kesatria Bone Soppeng, putera La Potto Bunne, Arung Tana Tengnga.

La Maddukkelleng belum seberapa jauh dari Peneki ketika serombongan pasukan utusan Raja Bone datang ke Tosora meminta Arung Matoa menyerahkan La Maddukkelleng untuk diadili di Bone atas kekacauan yang dilakukannya di Cenrana. Kepada utusan itu, Puengta Arung Matoa berkata bahwa sejak dari Bone, La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo.

Keyakinan para utusan bahwa La Maddukkelleng masih di Wajo tak bisa diungkapkan setelah diingatkan oleh Raja Wajo bahwa perjanjian Tellumpoccoe di Timurung menyebutkan Bone, Wajo dan Soppeng harus saling percaya. Utusan itu berpamitan dan menyampaikan pesan bernada ancaman bahwa pasukan kerajaan akan mencari sendiri dan mengadili La Maddukkelleng sampai kapan pun.

Pada masa pelarian La Maddukkelleng, Raja La Patau sedang di penghujung kekuasaannya, 1714. Ia masih sempat membentuk beberapa tim pemburu elit dengan misi menangkap La Maddukkelleng untuk diseret ke peradilan Tellumpoccoe. Salah satunya adalah tim yang dikepalai seorang pemuda  berkepandaian tinggi yang pernah bertarung hebat dengan La Maddukkelleng di pinggir sungai Cenrana.

Kita telah mengenalnya sebagai  La Sigajang To Passarai, murid utama dari mahaguru perguruan Mencak Sangge, La Pallao Guru Cenrana. Ia didampingi pengawal yang tak kalah lihainya, La Melleng. Namun belum sempat ada laporan dari misi panjang itu, raja besar ini keburu wafat di Nagauleng. Itulah mengapa ia diberi gelar anumerta Matinroe ri Nagauleng. Sementara La Sigajang To Passarai meneruskan pengejaran mengikuti jejak La Maddukkelleng. Ia menikmati pengejaran itu sambil berpetualang.

Dua Pemuda murid Guru Cenrana ini lalu belajar ilmu dari semua tempat yang didatanginya. Ia sempat mampir ke Mandar Balanipa lalu berguru pada Panrita Baju Ridie dengan menjual nama gurunya. Adalah kebanggaan seorang anreguru jika menjadi guru dari murid anreguru lain. Seolah menegaskan bahwa dirinya lebih unggul dari anreguru bersangkutan. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 17 times, 1 visits today)
#La MaddukkellengRaja BoneSang Pembebas
Comments (0)
Add Comment