SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

“BISSU Tungke’, ini sesuatu yang istimewa bagi putraku La Maddukkelleng yang sebentar lagi lahir. Soal keinginanmu untuk menjadikannya pewaris ilmu-ilmumu, saya membuka tangan selebarnya. Datanglah saat lima tahun ke depan, saya tentu akan menyampaikan kabar gembira ini ke Ibundanya.”

Bissu Tungke’ dan Puengta La Mataesso menghabiskan malam bersama beberapa pemuka Peneki. Lewat penuturannya, diketahui petualangannya selama menjadi pelarian dari Siang. Mereka saling bertukar cerita. Bissu Tungke’ terhitung kakak seperguruan dari Puengta La Mataesso. Meski Puengta hanya memiliki tingkat sulapa eppa dalam pencapaian kesaktian ilmu-ilmu Tompo Balease’, tapi itu cukup mengantarnya sebagai manusia tersakti di Peneki ketika itu.

Bahkan atas jasanya, ia telah menyelamatkan Bissu Tungke dari kejaran manusia-manusia sakti berbagai kerajaan. Ia memberikan peta jalan rahasia memasuki Danau Lampulung, tempat persembunyian yang terakhir. Mereka begadang menunggu melahirkannya Ratu Peneki Tenri Angka.

Tapi sejauh ini, tak terdengar adanya kegaduhan dari kamar Sang Ratu. Maka, setelah subuh selesai, Bissu Tungke berpamit menuju sungai dan menghilang di tengah halimun yang menutup permukaan air. Keremangan wajeng pajeng (cahaya fajar menjelang pagi) kini mulai tersibak terang.

Namun tak berselang lama, saat hari telah dimulai, keremangan kabut perlahan berganti aneka cahaya yang berkerlipan di pucuk pepohonan; dari arah ruang tengah rumah arung itu terdengar tangisan bayi yang keras. Telah lahir anak lelaki dengan tangan menggenggam kuat.

Dan La Maddukkelleng, sesuai nama yang telah dipersiapkan jauh sebelumnya, menyampaikan salam untuk pertama kalinya kepada dunia melalui pekikan tangis. Orang-orang menyambut dengan penuh suka cita. Sesuai kebiasaan, azan dilantunkan di sisi sebelah kanan telinga sang bayi. Puengta La Mataesso menggendong sang putera yang masih penuh darah sambil melafadzkan azan dengan aksen khas, logat Bugis Peneki.

Riuh seisi rumah dan juga para penduduk sekitar yang memenuhi kolong rumah. Seminggu lebih penantian itu telah berbuah hari ini.

Kelahiran La Maddukkelleng tercatat pada tanggal 1 Januari 1700 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 7 Sya’ban 1111 Hijriyah. Selama tujuh hari syukuran atau yang kini kita kenal aqiqah diadakan di Peneki. Beberapa ekor kambing dan hewan ternak lainnya dipotong menyusul terus berdatangannya tamu-tamu dari berbagai arah termasuk dari istana Wajo di Tosora. Hari bahagia itu langsung diukir dengan pahat pada pattolo bola (kayu penghubung tiang atas, semacam ring balk) yang melintang di atas ruang tengah:

“Esso ajajianna ana’ oroanena Peneki, La Maddukkelleng, 7 – 8 – 1111 H”

(Hari kelahiran anak lelaki Peneki, La Maddukkelleng tanggal tujuh bulan ke delapan _Sya’ban, tahun 1111 H).

BERITA TERKAIT :

Demikianlah, sejak kelahirannya, La Maddukkelleng seperti anak-anak lainnya tumbuh dalam pelukan alam dan kasih sayang kedua orang tuanya. Hal yang membedakannya hanyalah posisinya sebagai pangeran negeri kecil itu yang tentu saja mendapatkan penghormatan khusus dari rakyat kebanyakan. Tapi seluruh kebiasaan bermain dan corak perilaku anak kampung dilakoninya secara wajar.

Tak ada catatan khusus tentangnya selama ia lahir sampai lima tahun kemudian, Bissu Tungke’, seperti perjanjiannya dengan Puengta La Mataesso, mulai rajin berkunjung atau bahkan menetap beberapa hari di Peneki demi memberikan petunjuk-petunjuk dasar ilmu silat. Oleh Bissu Tungke’ ia lalu dilatih berlari, berenang, dan sejumlah olah fisik dasar lainnya.

Pelan-pelan ia diajari memasang kuda-kuda, memukul dengan kaki dan tangan. Semua dilakukan oleh Bissu Tungke’ secara pelan-pelan. Terkadang juga atas ijin Puengta, La Maddukkelleng dibawa bepergian ke negeri-negeri yang jauh. Dalam perjalanan itulah ia diberi petunjuk, latihan-latihan pernapasan dan dasar ilmu mencak yang tinggi. Terkadang setelah dua atau tiga bulan baru kembali ke Peneki.

Dan saat diminta untuk memperlihatkan latihan silatnya oleh ayahandanya, betapa takjub Puengta La Mataesso melihat perkembangan puteranya. Bocah enam tahun itu telah memiliki keterampilan mencak jauh di atas rata-rata anak lelaki sebayanya. Jika diukurnya, puteranya telah mampu menerima tingkat sulapa dua ilmu-ilmu Karame’e Tompo Balease’, manusia sakti yang sempat menjadi gurunya puluhan tahun lalu.

Melihat perkembangan ini, telah cukup kiranya bagi puteranya ini belajar tentang aksara tulis menulis dan peradaban istana. Atas persetujuan ibundanya, La Maddukkeeng lalu dikirim ke istana Tosora untuk hidup dalam lingkungan istana. Menjadi abdi sekaligus mengikuti berbagai pelajaran-pelajaran penting seorang pangeran muda.

Tradisi pendidikan istana waktu itu bagi anak-anak arung (anak-anak bangsawan yang berkerabat dekat dengan Arung Matowa) adalah menjadi abdi sekaligus murid-murid istana dalam praktek langsung. Pergaulan, tata krama, tulis menulis termasuk dasar-dasar kemiliteran.

La Maddukkelleng menjadi penghuni istana Tosora bersama puluhan pangeran lainnya sejak usia tujuh tahun. Ia, seperti anak-anak lainnya berada dalam kehidupan serba teratur dan disiplin. Sebuah kehidupan awal yang kelak terbukti menjadi salah satu pembentuk karakter kepemimpinan yang dimilikinya.  *** (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 6 times, 1 visits today)
#La MaddukkellengBissu Tungke'Istana PenekiSang Pembebas
Comments (0)
Add Comment