SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng

MELALUI laporan mata-mata itulah diketahui Aji Muhammad Idris sedang sibuk bersama pasukannya melakukan konsolidasi di wilayah-wilayah luar Wajo. Ini adalah kesempatan yang sangat baik. Tapi mereka juga memperhitungkan kekuatan pasukan khusus berkuda yang menemani Muhammad Idris, mereka adalah pasukan pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.

Pun yang menjadi catatan bahwa Sultan Kutai ini memiliki ilmu kesaktian dan silat yang tinggi, lemmung sakti yang dimilikinya membuat tubuhnya tak mempan bacok senjata tajam. Sungguh tak bisa dipandang remeh. Meski To Passarai adalah tokoh yang juga punya kesaktian tinggi tapi ia harus menjalankan rencana ini serapi mungkin.

Dari mata-mata diperoleh peta alur perjalanan Sang Sultan. Maka rombongan tim pembunuh pun diberangkatkan ke Wajo melalui hutan-hutan menuju perbatasan dengan Sidenreng. Saat itu diperoleh petunjuk bahwa Aji Muhammad Idris dalam beberapa hari akan berangkat ke Sidenreng membawa misi dari Arung Matoa La Maddukkelleng.

CERITA SEBELUMNYA :

Orang-orang dengan maksud jahat ini lalu menyusun siasat. Kalau penghadangan dengan senjata mereka merasa akan menghadapi perlawanan sengit dari seratusan pasukan terlatih yang berkepandaian tinggi dan terlatih. Maka diputuskan untuk menggali banyak lubang jebakan besar di beberapa tempat yang diyakini akan dilalui Sang Sultan.

Lubang-lubang itu dipenuhi bambu runcing dan walidah (kayu runcing yang biasanya dipakai wanita sebagai alat untuk menenun) yang kesemuanya ditancap menghadap ke atas. Tak ada orang, sesakti apa pun, yang mampu kebal terhadap bambu runcing dan walidah, demikian salah satu doktrin keyakinan para penuntut kekebalan ketika itu.

Maka, ranjau dalam wujud lubang-lubang maut itu telah tersebar dan dijaga di kejauhan oleh pasukan-pasukan To Passarai bersama La Melleng dibantu orang-orang Bone loyalis We Batari Toja.

Maka waktu itu, di penghujung 1739, sebuah penghadangan telah tercatat di sejarah sebagai akhir hidup Sultan Aji Muhammad Idris. Di sebuah hutan lebat antara Wajo dan Sidenreng, Sang Sultan terperosok bersama kudanya beserta beberapa pasukannya dalam lubang besar yang di atasnya dikamuflase dengan daun-daun kering.

Tak ada waktu untuk menghindar, meski secara naluriah kuda yang ditunggangi Sultan sempat meringkik tinggi dan berusaha menghindar dengan sebuah lompatan jauh menghindar ke arah samping. Namun lubang besar itu terlalu luas dan dalam. Tak ayal kuda berikut penunggangnya terperosok jatuh.

Sultan Muhammad Idris sadar telah terjebak, ia dengan kegesitan seorang pendekar mencoba menggenjot kaki di punggung kuda dan melompat ke arah lain dengan maksud mencapai bibir lubang.

Tapi lompatannya terlambat sekian detik dan juga ke arah yang keliru, tidak ke pinggir malah ke tengah. Berdebumlah Aji Muhammad Idris di lubang maut itu. Tubuhnya tertusuk dua bambu runcing dan satu walidah. Ia merasakan lemmung kekebalannya tak berdaya pada bambu yang diruncingkan. Ia tersadar maut telah datang.

CERITA SEBELUMNYA :

Tapi ia adalah kesatria tempaan jaman dari Kutai Kartanegara, negeri bertuah yang menjadi penghulu para raja di Borneo. Ia sedikit pun tidak mengeluh. Ia melihat ke samping, kudanya telah berkelojotan mati. Beberapa pengawalnya yang ikut terperosok juga telah tewas. Ia menengadah dan mengucap takbir tiga kali.

Pada saat itulah beberapa pengawalnya datang dan turun ke lubang dengan hati-hati. Sang Sultan tersenyum kepada pengawalnya yang menemaninya dari Kutai, La Barru dan Aung Labih. Beberapa pengawal yang lain tampak panik, sedih dan marah. Beberapa yang lain mengitari sekeliling dan mengejar ke arah bukit yang tak jauh dari situ.

Ada kelebatan bayangan orang berkuda di kejauhan yang membalap ke arah hutan sebelah. Itulah To Passarai dan beberapa orangnya. Mereka kabur ke arah Bone. Misi berhasil, tak perlu menghabiskan waktu untuk bertempur. Demikian pikir La Sigajang To Passarai.

La Barru memegang tangan Sang Raja. Aung Labih berlutut, matanya mengeluarkan air mata yang banyak, tapi tanpa suara. Aung Labih adalah pengawal pilihan dari Pemarangan, pendekar Kutai dan menjadi abdi setia selama ini. Tangan sultan dalam genggaman La Barru makin mengeras. Ia lalu berkata lirih,

“Kau ambil Keris Buritkang dalam balik bajuku ini, Barru. Serahkan kepada permaisuriku Aji Puteri Agung di Pemarangan Kutai. Kelak berikan kepada puteraku yang berhak menjadi raja..” Suara Sang Sultan melemah dan hilang, tangannya yang meregang dalam genggaman La Barru pun ikut melemah.

Raja perkasa yang sakti mandraguna di banyak peperangan itu menemui ajal oleh bambu runcing dan walidah, oleh tipu daya musuh yang hingga ajal tiba tidak diketahuinya berasal dari Kutai sendiri, dari seorang pengkhianat yang berkonspirasi dengan La Sigajang To Passarai, musuh besar mertuanya. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com) 

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
#La MaddukkellengBambu RuncingGugur LubangPetta La Darise'Sang PembebasSultan Muhammad IdrisWalidah Kayu
Comments (0)
Add Comment