URGENSI KECERMATAN PENCANTUMAN PASAL DAN AYAT UU PASCA BERLAKUNYA UU NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

0 522

Oleh:

Abdul Khakim, S.H., M.Hum.[1]

Mobilephone: 081350649990; E-mail: [email protected]

SEBERAPA pentingkah pencantuman pasal dan ayat suatu undang-undang pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020)? Sehingga, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (4/11/2020) pernah mengingatkan pemohon pengujian UU 11/2020 agar berhati-hati dalam mencantumkan pasal yang dimohonkan untuk diuji.

Kondisi demikian tentu tidak dapat diabaikan atau disepelekan, khususnya jika seseorang akan beracara di Mahkamah Konstitusi, juga kemungkinan nantinya beracara di Pengadilan Hubungan Industrial atau pengadilan lainnya, sehingga perlu kecermatan dalam mencantumkan pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam permohonan atau gugatannya. Ketidakcermatan tersebut dapat berakibat permohonan atau gugatan kabur yang akhirnya berdampak permohonan atau gugatannya tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).

Pencantuman pasal dan ayat suatu undang-undang pasca berlakunya UU 11/2020 yang “standar dan tertib” tidak hanya diperlukan pada saat seseorang beracara di pengadilan, melainkan juga dalam setiap penulisan dokumen atau referensi hukum. Dengan cara demikian, diharapkan para pembaca dokumen atau referensi hukum tersebut akan lebih mudah memahami pembahasan yang dimaksud oleh pembuat/penyusun, karena adanya perubahan pasal dan ayat yang dibahas—baik karena perubahan, penyisipan, maupun penghapusan—semakin mudah di-track, sehingga tidak membuat kalangan pembaca bingung atau salah tafsir.

Kemudian, bagaimana seharusnya pencantuman pasal dan ayat UU pasca berlakunya UU 11/2020 dilakukan? Sebagai contoh, apakah cukup menyebut “Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020)?” Tentu tidaklah cukup demikian, apalagi sudah menyangkut hal-hal teknis dan rinci dalam beracara di pengadilan.

Apabila kita telusuri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PerPres 87/2014) tidak dapat kita ketemukan cara pencantuman pasal dan ayat tersebut.

Mengapa demikian? Hal ini dapat dipahami, karena proses UU 11/2020 merupakan terobosan baru dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di negara Indonesia. Sebagaimana telah dinyatakan pada Konsiderans huruf e UU 11/2020 sebagai berikut:

“bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif.”

Dalam Penjelasan Umum UU 11/2020 dinyatakan juga bahwa:

“Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya, diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang terkait. Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu persatu Undang-Undang seperti yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak efektif dan efisien serta membutuhkan waktu yang lama.”

Walaupun terdapat beberapa pihak yang mempersoalkan karena dianggap bertentangan dengan UU 12/2011, pertimbangan dan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pembentukan UU 11/2020 tidak dapat dilakukan secara konvensional termasuk sebagian ketentuan dalam UU 12/2011. Oleh sebab itu, teknik pencantuman pasal pun tidak dapat kita ketemukan dalam UU 12/2011 tersebut, karena memang UU 12/2011 belum mengakomodir perkembangan kondisi sebagaimana terobosan yang terjadi dalam pembentukan UU 11/2020.

Guna mengatasi masalah ini, menurut penulis pencantuman pasal UU pasca berlakunya UU 11/2020—contoh terhadap UU 13/2003—dapat dilakukan kurang lebih sebagai berikut:

  • Pasal yang berubah – Pasal 13 UU 13/2003 (Pasal 81 angka 1 UU 11/2020), Pasal 14 UU 13/2003 (Pasal 81 angka 2 UU 11/2020), Pasal 37 UU 13/2003 (Pasal 81 angka 3 UU 11/2020), Pasal 160 ayat (4) UU 13/2003 (Pasal 81 angka 49 UU 11/2020), dan seterusnya.
  • Pasal tambahan/sisipan – Pasal 88A UU 13/2003 (Pasal 81 angka 25 UU 11/2020), Pasal 88B UU 13/2003 (Pasal 81 angka 25 UU 11/2020), Pasal 90A UU 13/2003 (Pasal 81 angka 28 UU 11/2020), Pasal 151A UU 13/2003 (Pasal 81 angka 38 UU 11/2020), Pasal 154A UU 13/2003 (Pasal 81 angka 42 UU 11/2020), dan seterus-nya.
  • Jika spesifik harus menyebutkan ayat dan huruf – Pasal 90B ayat (1) dan (2) UU 13/2003 (Pasal 81 angka 28 UU 11/2020), Pasal 154A ayat (1) huruf g UU 13/2003 (Pasal 81 angka 42 UU 11/2020), dan Pasal 154A ayat (1) huruf n dan o UU 13/2003 (Pasal 81 angka 42 UU 11/2020).

Pada awal dan akhir rangkaian pasal dan ayat dapat menggunakan tanda [….], jika di dalamnya sudah ada tanda (….) baik satu maupun lebih.

Berikut beberapa contoh kalimat dan pencantumannya:

  1. Berbeda dengan pengaturan UU 13/2003 sebelumnya, pemberlakuan upah minimum sekarang terdapat pengecualian bagi usaha mikro dan kecil [lihat Pasal 90B ayat (1) dan (2) UU 13/2003 (Pasal 81 angka 28 UU 11/2020)].
  2. Masih adanya pengaturan tentang permohonan PHK yang diajukan oleh pekerja/buruh [Pasal 154A ayat (1) huruf g UU 13/2003 (Pasal 81 angka 42 UU 11/2020)] menunjukkan salah satu bukti inkonsistensi Pemerintah terhadap penghapusan Pasal 152 UU 13/2003 dalam UU 11/2020. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIII/2015, yang mana Majelis Hakim menilai bahwa perkara PHK tidak mungkin dikonstruksikan sebagai permohonan. Sebab, perkara PHK jelas ada unsur sengketa (disputes) antara para pihak, setidak-tidaknya dua pihak.
  3. Beberapa pasal terkait dengan pengaturan PHK dalam UU 13/2003 dihapus dan selanjutnya digabung menjadi satu pasal dalam UU 11/2020, sehingga ketentuan PHK karena pekerja/buruh yang mencapai usia pensiun atau meninggal dunia termasuk dalam satu pasal tersebut [lihat Pasal 154A ayat (1) huruf n dan o UU 13/2003 (Pasal 81 angka 42 UU 11/2020)].
  4. Ketiadaan sanksi terhadap Pasal 153 ayat (3) UU 13/2003 berpotensi memicu pelanggaran oleh pengusaha nakal, sehingga mengakibatkan ketentuan tersebut menjadi “pasal banci.” Apabila pembuat undang-undang konsisten guna mendorong penerapan dan penegakan hukumnya secara efektif, maka untuk pengenaan sanksi atas pelanggaran Pasal 153 ayat (3) UU 13/2003 sebenarnya dapat dimasukkan ke dalam Pasal 185 ayat (1) UU 13/2003 (Pasal 81 angka 63 UU 11/2020), sebagaimana pengenaan sanksi atas pelanggaran Pasal 160 ayat (4) UU 13/2003 (Pasal 81 angka 49 UU 11/2020).

Bagaimana halnya pencantuman terhadap pasal-pasal UU 13/2003 yang tidak mengalami perubahan atau penyisipan? Menurut penulis, jika suatu pasal tidak ada perubahan atau penyisipan, maka pencantumannya tetap seperti biasa dan tidak perlu menyebut UU 11/2020. Contohnya, antara lain: Pasal 1 angka 15 UU 13/2003, Pasal 4 huruf c UU 13/2003, Pasal 10 ayat (4) UU 13/2003, dan Pasal 192 UU 13/2003.

Sebaliknya, apabila suatu pasal terjadi perubahan atau penyisipan, maka perlu menyebut pasal dalam UU 11/2020 sebagaimana beberapa contoh di atas.

Demikian tulisan sederhana ini disampaikan, dengan harapan bisa membuka diskusi dan penyempurnaan dari para pembaca yang lain. Semoga bermanfaat dan terima kasih. (*)

Balikpapan, 18 Desember 2020.

[1]     Advokat/Praktisi Hukum Ketenagakerjaan, Penulis Buku Hukum Ketenagakerjaan, dan Sekretaris Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI).

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!