SANG PEMBEBAS

Roman Sejarah dan Kiprah Petualangan Kesatria Tana Ugi, La Maddukkelleng.

0 130

Tulisan sejarah bergenre roman berikut akan kami sajikan secara bersambung mulai hari ini.

Kisah panjang dari Kiprah Petualangan Sang Pembebas La Maddukkelleng relevan kita angkat di tengah momentum dianugerahinya status Pahlawan Nasional bagi Aji Sultan Muhammad Idris, Sultan Kutai yang gugur dalam perjuangan di Wajo.

Meski keberadaannya akan muncul di bab-bab pertengahan, namun kisah yang sedang dalam proses cetak buku ini memberi deskripsi latar belakang yang cukup utuh dalam laku kejuangan dua pahlawan nasional, La Maddukkelleng dan Sultan Muhammad Idris, menantu mertua yang membanggakan.

Roman sejarah ini memberi pesan kuat bahwa hubungan orang-orang Bugis Makassar dengan Kalimantan bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul di kekinian, tapi ia datang dari sebuah proses sejarah yang signifikan.

Tulisan yang kami salin dari naskah asli ini akan menampilkan tokoh-tokoh penting. La Maddukkelleng, Aji Sultan Muhammad Idris, Aji Imbut, Andin Anjang, La Mohang Daeng Mangkona, Hindun Jamilah, dan lain-lain.

Selamat membaca.

 

PROLOG

LEBIH kurang seratus tahun sebelum perang besar mengguncang Makassar di tahun 1669, tiga kerajaan utama Bugis yakni Bone, Soppeng, dan Wajo telah membuat sebuah ikrar persaudaraan yang disebut Persekutuan Tellumpoccoe. Sebuah ikrar sakral yang memuat filosofi warisan leluhur yang bersemayam di Buting Langi. Bukan perjanjian biasa. Ia seperti pahatan aksara yang terpatrikan di tiga langit kerajaan.

Dipandangi setiap hari seperti mereka melihat matahari terbit bersama cuaca yang silih berganti, panorama yang berubah-ubah serta terang yang kadangkala hadir bersama muram.

Ia menjadi pelita yang dirujuk dalam gelap perselisihan yang kadang muncul. Setiap kali, atau tepatnya acap kali datang problematika persaudaraan, maka serta merta mereka saling mengingatkan bahwa apa yang pernah diikrarkan, pantang diingkari oleh mereka yang menyebut dirinya To Ugi.

Keteguhan memegang ikrar adalah nilai tertinggi dalam derajat kekesatriaan manusia Ugi. Nilai itu termaktum dalam filosofi lempu, acca, dan warani (jujur, cerdas, dan berani). Sebuah falsafah hidup yang memuat empat syarat getteng (keteguhan) orang Bugis.

Pertama, takkan ingkar janji dan tak khianat pada kesepakatan (tessalai janci enrengnge tessorosi ulu ada); Kedua, konsisten pada kesepakatan dan tak mengubah perjanjian (tellukkae anu pura, enrengnge teppinrae assituruseng); Ketiga, jika menjadi pengadil, tak berhenti sebelum selesai (narekko mabbicarai, parapi na pajaji); dan Keempat, saling mengangkat, tak saling merongrong (sirui menre’ teng sirui nonno).

Perjanjian yang disebut Lamumpatue ri Timurung itu memuat naskah panjang yang mempersatukan tiga pilar negeri-negeri Bugis dalam satu ikatan ikrar ulu ada dengan inti sari yang terpatri dalam sanubari:

“Rebba sipatokkong

(saling menegakkan ketika ada yang tersungkur),

Malilu sipakainge’

(mengingatkan ketika ada yang tidak taat pada kesepakatan),

Siaddapi-dapireng ri peri’ nennia nyameng’e

(saling membantu dalam keadaan suka maupun duka).

 Tessibaiccukeng

(tidak saling mengecilkan peran),

Tessicinnaiyyang ulaweng matasa’

(tidak saling memperebutkan harta dan takhta).

Tessitottongeng warang parang nennia tessipaluttu ana’ parakeana’

(tidak saling memperebutkan harta benda dan berlaku bagi generasi penerus masing-masing).

 Sirekkokeng tedong mawatang

(saling menundukkan kerbau yang kuat),

Sipolongeng poppa

(saling mematahkan paha),

Silasekeng tedong nennia siteppekeng tanru tedong

(saling mengebirikan kerbau dan saling memotong tanduk kerbau _mereka akan selalu bersama-sama mengirimkan panglima perang yang kuat untuk melumpuhkan musuh yang kuat pula),

Tempettu-pettu sianreng pada-padapi napettu

(tidak akan putus satu persatu melainkan semua harus putus),

Tennawa-nawa tomate jancitta’ tennalariang anging ri saliweng bitara

(perjanjian ini tidak akan batal ketika kita mati dan tidak akan lenyap ditiup angin ke luar langit),

Temmalukka adangetta’ natettongi Puang Dewata Sewwae

(perjanjian kita tidak akan batal dan disaksikan oleh Tuhan yang Maha Esa).”

Inilah peneguhan semangat yang saling memperkuat, saling mengisi dan mengokohkan masing-masing kerajaan dalam rangka menghadapi hegemoni dua kerajaan kembar Makassar ketika itu, yakni Gowa-Tallo.

BERITAT TERKAIT :

Persekutuan ini dikukuhkan dalam perjanjian bertahun 1582 di Bunne, Timurung Bone utara, berupa upacara sumpah setia disertai menghancurkan telur dengan tiga batu keramat yang menyerupai anglo dalam tiga ukuran.

Anglo besar sebagai simbol saudara tua Bone, anglo sedang mewakili saudara tengah Wajo, dan anglo kecil diserupakan ke saudara bungsu Soppeng.

Anglo itu selain melambangkan luas wilayah masing-masing, juga menjadi penanda tingkatan hegemoni kekuatan politik ketika itu. Bone adalah kerajaan yang memainkan banyak peran besar yang mempengaruhi politik kawasan.

Perang dengan Gowa yang beberapa kali dimenangkannya membuktikan kekuatan dan posisi tawarnya yang tinggi. Dari level prestisius itu, Bone pun disebut sebagai kakak tertua yang saat perjanjian ditandatangani telah menjadi sahabat sejajar dengan Gowa yang ekspansif.

Sementara Wajo, yang kala itu meski berada di bawah pengaruh Luwu dan Gowa tetap dihitung sebagai kekuatan yang tak boleh dipandang remeh. Wajo memiliki wilayah yang lengkap. Selain laut dan daratan yang luas, ia juga memiliki banyak sungai-sungai dan danau besar. (BERSAMBUNG/DETAKKaltim.Com)

Penulis : Andi Ade Lepu

(Visited 1 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!