ARUS SEJARAH ARAB DAN CINA DI NUSANTARA

OPINI

0 213
  • Penulis : Andi Ade Lepu
  • Direktur Icon Institute

ARAB dan Cina adalah dua kutub besar yang menjadi tema percakapan bangsa setidaknya dalam satu dekade terakhir. Ia seperti pisau yang membelah kita dalam dua kiblat utama: Cina dengan kemajuan politik ekonominya, dan Arab Saudi dengan perannya sebagai katalisator kapitalisme Arab Amerika.

Cina beserta komunisme yang melekat dan Arab Saudi bersama Islam sentrisnya. Arus kuat itu menggiring dan memunculkan term istilah-istilah diametral yang terdistribusi sampai ke akar rumput dengan bahasa caci maki: Cebong -  Kadrun, PKI baru – Islam Sontoloyo, kencing onta – kafir kullup, dan berbagai keterbelahan aneh lainnya.

Kita tidak sedang ingin membahas istilah-istilah itu, kita hanya ingin melirik sejarah yang mungkin kita lupa tentang hubungan kedua bangsa yang ternyata telah ada sejak beribu tahun lalu. Bangsa Arab yang merupakan pedagang pengembara telah menjalin perniagaan dengan Cina  jauh sebelum Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam lahir.

Sejarawan Thomas W. Arnold menyebutkan betapa erat hubungan wirausahaan Arab dengan raja dan masyarakat Cina. Puluhan ribu orang-orang Arab telah sampai di Cina di abad-abad awal Masehi. Pemerintah Cina kala itu, demi menghargai duta perdagangan Arab menyediakan tempat-tempat tertentu sebagai kediaman mereka di beberapa kota Cina.

Inilah benang merah lahirnya hadits, “Carilah ilmu walau pun di negeri Cina.” Meski ada yang menyebut hadits ini lemah, namun dalam bentuk mahfudzoh, di kalangan penyair Arab ungkapan itu telah ada jauh sebelum Rasullullah lahir.

Jadi, antara bangsa Arab dan negeri Cina waktu itu telah melakukan pertukaran-pertukaran ekonomi dan sains yang sangat produktif. Disebutkan oleh S. Alwi bin Tahir Al-Haddad, para peniaga Arab telah membentuk rute perjalanan luas dengan negeri-negeri lain. Mereka meninggalkan jejak kewirausahaan dari Yaman sampai negeri-negeri terjauh. Mereka menjadi perantara atau penghubung Eropa dan negeri-negeri Afrika, India, Asia Tenggara, sampai  Cina dan Jepang.

Fakta sejarah ini juga membantah bahwa Islam datang ke Asia Tenggara termasuk Indonesia di abad Ke-13 Masehi sebagaimana kita baca dalam buku-buku sejarah. Tidak. Islam datang jauh sebelum itu, yakni sejak Islam didakwahkan awal oleh Rasulullah di Madinah yang kemudian dibawa oleh para pedagang-pedagang itu di abad-abad pertama Hijriyah atau abad Ke-7 Masehi. Pendapat ini bisa kita baca dalam “Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia” __ Prof. B.H. Burger.

 Pergaulan Arab dan Cina itu menciptakan asimilasi dua peradaban kedua negara di masa depan masing-masing. Sebagai bangsa enterpreneur, Arab secara progresif terus mengembangkan perniagaan sekaligus membangun tradisi “mencari ilmu sampai Cina”,  sampai kemudian mereka bersinggungan dengan Yunani sebagai pusat peradaban waktu itu.

Baca Juga :

Seiring imperium Islam yang maju pesat, upaya transfer literatur dari Yunani gencar dilakukan dengan melakukan terjemahan besar-besaran kitab induk ilmu pengetahuan dari Yunani. Hasilnya, dunia Islam menjadi terang benderang meninggalkan Eropa yang waktu itu justru berada dalam keadaan gelap gulita.

Bagaimana dengan Cina? Dari pergaulan dengan bangsa Arab, mereka belajar semangat enterpreneur. Mereka kemudian berdiaspora jauh dari negerinya menjadi pedagang-pedagang sukses dan sebagian bahkan terlibat menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia termasuk nusantara. Kecuali misi agama, semua itu berlangsung sampai hari ini.

Orang-orang Cina kemudian menjadikan bisnis sebagai tradisi yang mendarah daging. Kita mengenal dalam kekinian, mereka berkembang dalam bentuk yang lebih canggih: mengakses sumber kekuasaan kartel ekonomi politik sampai regulasi makro negara-negara yang mereka kangkangi. Kini, mereka telah berhasil sebagai adi daya di bidang ekonomi yang jauh melampaui negara-negara lain. Mereka berubah menjadi oligark-oligark bagai dewa yang menentukan nasib manusia di planet bumi.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di abad-abad 13 sampai 16 Masehi, artikulasi arus Cina – Arab itu bertemu di nusantara dalam dua kegiatan yang sama. Perniagaan dan persebaran Islam. Hanya saja, kedatangan kolonialisme Kerajaan Katolik Portugis dan Kerajaan Protestan Belanda mengubah spirit kedua bangsa dengan deislamisasi sejarah. Mereka membangun citra paradigma melalui doktrin-doktrin hadits palsu dan semacamnya, bahwa Allah menyukai orang-orang masjid dibanding dengan orang-orang pasar.

Ummat Islam kemudian menjauh dari pasar dan tercerabut semangat orientasi perdagangannya, yang telah menjadi darah hidupnya selama ini. Mereka jatuh pada kegelapan spritualitas dengan mengikuti dogma-dogma yang terus dikembangkan oleh penjajah melalui sejarah yang dibelokkan.

Wali Songo digambarkan tetap dalam frame Islam namun isi ajarannya mirip Hindu dan Budha. Wali Songo menjadi pertapa-pertapa sakti dan jauh dari syariat, tidak berdagang, tidak shalat, dan lebih mementingkan hati dari perbuatan. Padahal faktanya, mereka adalah pemegang teguh syariat, berdagang, dan terlibat dalam perlawanan penjajahan Katolik Protugis.

Misalnya dilakukan oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yang menyerang Portugis untuk merebut kembali Pelabuhan Niaga Jakarta di 1527.

Tapi sejarah lebih sering ditulis oleh para pemenang. Penjajahan panjang membuat kemunduran pola pikir ekonomi politik ummat Islam nusantara, yang masih terasa sampai hari ini. Sementara Cina, meski menjauh dari semangat spritualitas Islam, namun mereka meneruskan tradisi perniagaannya.

Pergumulan ideologi komunisme yang membuat negaranya menjadi tirai bambu, tidak memadamkan gelora enterpreneurship yang mereka miliki. Di dalam negeri boleh jadi sosialis komunis, tapi ketika bergaul dengan bangsa-bangsa lain khususnya dalam bidang perekonomian, mereka berkembang menjadi sangat kapitalistik.

Kita kemudian mengenal free trade by Chinese yang diakui dunia, dan membuat Cina menjadi negara yang sangat disegani di kancah ekonomi politik.

Sejarah ini perlu kita jenguk untuk membangun kesadaran, bahwa Cina dan Arab adalah warisan kesilaman yang arusnya pernah bertemu secara sangat simbiosis di nusantara. Kita patut mencatatnya sebagai bahan korektif atas sikap kita yang justru menjadikan mereka sebagai alat keterbelahan, sebagai “kiblat” pragmartisme demi untuk saling menghancurkan.

Itu konyol dan hampir mendekati dungu. Arab dan Cina adalah sebuah kitab yang terus menerus perlu kita baca untuk keluar dari masalah yang sangat serius hari ini.

Keduanya bisa menjadi rujukan dalam banyak hal, sebagaimana Pancasila telah merangkum nilai-nilai yang mereka anut. Kita adalah negara yang berketuhanan, beradab, bersatu, berhikmat pada kebijaksanaan, sekaligus berkeadilan sosial. Konvergensi sejarah di atas bertemu dalam falsafah negara kita.

Wallahu a’lam bishshawab…(DETAKKaltim.Com)

Editor  : Lukman

(Visited 2 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!