JAM Pidum Setujui Permohonan RJ Perkara KDRT dari Kejari Samarinda

Permohonan RJ Perkara Penadahan Juga Disetujui

0 269

DETAKKaltim.Com, JAKARTA: Jaksa Agung RI ST Burhanuddin melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Asep Nana Mulyana memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 6 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (Keadilan Restoratif), Rabu (18/9/2024).

Jaksa Agung dalam  Siaran Pers Nomor: PR – 795/039/K.3/Kph.3/09/2024 yang diterima DETAKKaltim.Com melalui Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengungkapkan, salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu Mulyadi Nasution alias Mul dari Kejaksaan Negeri Rokan Hilir, yang disangka melanggar Pasal 480 Ke-1 KUHP tentang Penadahan.

Kronologi kejadian tersebut berawal pada hari Rabu tanggal 26 Juni 2024 sekitar Pukul 19:30 WIB, Tersangka Mulyadi yang sedang berada di rumahnya di Dusun Tiga Belas, Desa Bandar Sari, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, didatangi Nanang (DPO).

Maksud kedatangan Nanang untuk menjual 1 unit Handphone android merek INFINIX SMART 6 warna hitam kombinasi warna biru, tanpa kotak ataupun kwintansi pembelian, yang mana Handphone tersebut merupakan milik Saksi Eva Solina Sirait yang diambil tanpa izin oleh Nanang.

Kemudian Nanang menawarkan Handphone tersebut kepada Tersangka Mulyadi seharga Rp200 Ribu, namun Tersangka tidak memiliki uang dengan nilai tersebut. Lalu Tersangka menyanggupi permintaan Nanang untuk membeli Handphone tersebut, seharga Rp 150 Ribu.

Kemudian Nanang menyetujui pembelian Handphone dengan harga tersebut, serta menyerahkan kepada Tersangka Mulyadi.

“Sepatutnya Handphone tersebut diduga merupakan hasil kejahatan, karena dijual tanpa kelengkapan seperti kotak dan kwitansi penjualan serta dengan harga yang tidak wajar,” jelas  Harli.

Akibat perbuatan Tersangka, Saksi Korban Eva Solina Sirait mengalami kerugian sebesar Rp1,5 Juta.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Andi Adikawira Putera dan Kasi Pidum Lita Warman serta Jaksa Fasilitator Genta  Patri Putra, Hade Rachmat Daniel, dan Nadini Cista menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme Restorative Justice (RJ).

“Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Korban. Setelah itu, Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan,” jelas Harli lebih lanjut.

Baca Juga:

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kajati Riau Akmal Abbas sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative. Dan mengajukan permohonan kepada JAM Pidum, permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar, Rabu (18/9/2024).

Selain itu, JAM Pidum juga menyetujui 5 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif. Masing-masing terhadap Tersangka Hendra Bin H Rustan dari Kejakasaan Negeri Samarinda, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.

Tersangka Fitri Sahrul Gunawan alias Alung Bin Kadri Busrah dari Kejaksaan Negeri Nunukan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan

Tersangka Ivan Facrial Fuji Muchsin Bin Al Juman dari Kejaksaan Negeri Samarinda, yang disangka melanggar Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Tersangka Rahmat Hidayat Hura dari Kejaksaan Negeri Rokan Hulu, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Junto Pasal 5 huruf a dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Tersangka Marganda Tua Pasaribu Bin Parlaungan Pasaribu dari Kejakasaan Negeri Kampar, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP Penganiayaan.

Harli menjelaskan, alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini antara lain telah dilaksanakan proses perdamaian. Dimana Tersangka telah meminta maaf, dan korban sudah memberikan permohonan maaf.

Tersangka belum pernah dihukum; Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana; Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun; Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya; Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;

Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan, karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar; Pertimbangan sosiologis; dan masyarakat merespon positif.

Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2). Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (DETAKKaltim.Com)

Sumber: Siaran Pers/K.3.3.1

Editor: Lukman

(Visited 35 times, 1 visits today)
Leave A Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!