Sabam M. Monang Bakara, SH. (foto: Exclusive)
- Penulis: Sabam M. Monang Bakara, SH. Advokat/Praktisi Hukum Mahasiwa Magister Hukum-FH Unmul
KLAIM Hasto Krsitiyanto dan Tom Lembong bahwa penegakan hukum kasus korupsi yang menimpa mereka adalah politis, bukanlah sesuatu yang “menggemparkan”, karena sulit rasanya menegakkan hukum tanpa dipengaruhi faktor non hukum, bukankah hukum adalah produk politik!
Gagasan bahwa hukum tidak boleh dicampuradukkan dengan politik sebenarnya telah usang, hukum seringkali berkelindan dengan faktor non hukum. Apa yang sangat “dirindukan” masyarakat pada hukum sebenarnya keadilan dan esensi keadilan adalah kesetaraan.
Tidak ada yang keliru bila penegakan hukum dipengaruhi faktor non hukum seperti moral, politik, agama, dan sosiologi. Yang seringkali keliru institusi yang seharusnya menjamin keadilan, tapi secara nyata justru gagal menciptakan rasa keadilan.
Bila harus menegakkan kemurnian hukum, maka tidak sedikit pemimpin atau pejabat dari daerah sampai pusat masuk bui, mungkin stadion seluas Old Trafford di Manchester tak cukup menampungnya, dan itu dapat menimbulkan guncangan hebat dan chaos.
Bila penegakan hukum dilakukan secara murni dan konsekuen maka hukum kehilangan manfaatnya, tampak seolah-olah keadilan sedang ditegakkan padahal yang terjadi adalah ketidakadilan yang terbungkus secara legal. Lantas masihkah berharap pada penegakan hukum murni?.
Memisahkan hukum dari moral, politik, agama dan ilmu sosial lainnya membawa hukum pada kehampaan, tak ada istilah “hukum yaa hukum” yang ada “cinta yaa cinta”, karena itu penegakan hukum murni hanyalah ilusi semata. Mengharap bahwa hukum tak boleh dicampuradukkan dengan politik, sama saja berkhayal “mendiskualifikasi” fakultas hukum dari perguruan tinggi. (*)
