
Prof. Jimly Asshiddiqie bersama Prof. Binsar Gultom. (foto: Tim Dandapala)
• Prof Jimly: Mahkamah Etik Nasional, Puncak Sistem Peradilan Etika
DETAKKaltim.Com, JAKARTA: Mahkamah Etika Nasional (MEN) adalah sebuah lembaga yang berorientasi untuk menangani pelanggaran etika di semua tingkatan profesi di lembaga publik, bukan hanya di lembaga peradilan (yudikatif).
Tujuan pembentukan MEN sebagai upaya memberi kesempatan individu profesi yang terkena sanksi etik, yang diberikan oleh masing-masing organisasi. Melalui MEN maka individu tersebut dapat melakukan upaya hukum ke lembaga pengadilan kode etik berskala nasional, sehingga MEN menjadi puncak sistem peradilan etika.
Demikian benang merah yang disampaikan Prof Jimly Asshiddiqie saat ditemui Prof Binsar Gultom di kediamannya, Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis (3/7/2025).
Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini, MEN tidak mengeluarkan keputusan, namun hanya sebatas rekomendasi. Misalnya memecat atau memberikan peringatan kepada pelaku pelanggar etika, atau memulihkan nama baik.
“Karenanya, di era reformasi sekarang pentingnya membenahi negara tidak hanya dengan cara memberi sanksi hukum, namun lebih pada pendidikan etik yang lebih baik,” kata Prof Jimly.
Menurut Prof Jimly, gagasan pembentukan MEN ini muncul sebagai solusi untuk mengatasi kerapuhan etika dan menjaga integritas pejabat publik. Secara konstitusional, pintu masuk yang dapat digunakan untuk pembentukan MEN adalah melalui lembaga Komisi Yudisial (KY) yang berada di Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, KY memiliki wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, kewenangan KY dapat diperluas. Salah satunya dengan perubahan UUD 1945.
Saat ini, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 kewenangan KY hanya terbatas pada prilaku Hakim saja di lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Dengan adanya perubahan UUD 1945 khusus kewenangan KY, maka nantinya dapat diperluas kewenangan KY meliputi pengawasan Hakim dan pejabat publik lainnya.
“Sehingga kewenangan KY nantinya, selain menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, juga dapat ditambah dengan pejabat publik lainnya,” jelas Prof Jimly lebih lanjut.
Baca Juga:
- Digitalisasi SPBU Senilai Rp3,6 Trilyun Terindikasi Diskriminatif
- Gerbong Mutasi Kejaksaan Bergerak, Mantan Wakajati Kaltim Kini Menjabat Kajati
- Jejak Panjang Mencari Keadilan, Heryono Admaja Ajukan Peninjauan Kembali
Semua proses administrasi pemberkasannya ada di KY, sehingga MEN tidak berurusan dengan orang per orang. MEN hanya menerima dan memeriksa berkas, sama seperti pemeriksaan Kasasi di Mahkamah Agung.
Lembaga ini akan bertindak independen dan menangani pelanggaran etika secara konsisten serta transparan di berbagai sektor etika profesi, pejabat pemerintah, penyelenggara negara dan termasuk Hakim di dalamnya.
“Apabila usul ini dapat diterima, maka MEN akan berada di Ibu Kota Negara. Pembentukan MEN sendiri dapat melalui undang-undang.” tandas Prof Jimly.
Dalam praktiknya misalnya, seorang Dokter diberhentikan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Maka nanti Dokter tersebut mengajukan upaya hukum ke KY, secara administrasi pemberkasan akan diproses oleh KY, selanjutnya KY mengirimkan berkas-berkas ke MEN.
Contoh lain misalnya, seorang advokad yang diberhentikan dari organisasi, advokad tersebut tidak dapat membentuk organisasi baru, namun harus menempuh upaya hukum ke MEN melalui KY.
Begitupun pejabat MK, misalnya Ketua MK diberhentikan dari jabatannya oleh Majelis Kehormatan Etik. Jika tidak puas terhadap putusan itu, upaya hukumnya bukan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun melalui KY yang selanjutnya diteruskan ke MEN. (DETAKKaltim.Com)
Penulis : Tim Dandapala
Editor: Lukman