
Presiden Partai Buruh Said Iqbal. (foto: Exclusive)
• Said Iqbal: Buruh Itu Tulang Punggung Ekonomi
DETAKKaltim.Com, JAKARTA: Kebijakan pemerintah menyalurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp600 Ribu untuk 2 bulan ke depan kepada buruh, guru, dan tenaga honorer yang bergaji di bawah Rp3,5 Juta mendapat respons dari Presiden Partai Buruh Said Iqbal.
Meski mengapresiasi langkah tersebut sebagai bagian dari upaya pemerintah menjaga konsumsi rumah tangga, ia menilai skema ini terlalu jangka pendek dan belum menyentuh akar persoalan daya beli rakyat.
“Ya, kita mengapresiasi bantuan ini. Selama dua bulan buruh akan menerima Rp600 Ribu, artinya Rp300 Ribu per bulan. Tapi ini hanya tambal sulam. Setelah dua bulan, daya beli pasti turun lagi,” ujar Said Iqbal dalam keterangannya, Kamis (12/6/2025).
Program ini sendiri menggelontorkan anggaran nyaris Rp10 Trilyun. Namun menurut Iqbal, besarnya nominal belum tentu menjamin efektivitas kebijakan jika tidak dirancang dengan kerangka jangka panjang.
Ia menekankan bahwa menjaga daya beli rakyat tidak bisa hanya diukur dari stimulus sesaat, tetapi harus dari keberlanjutan kebijakan fiskal yang pro-rakyat kecil.
“Setelah dua bulan, lalu bagaimana? Rakyat kembali dihantam inflasi. Daya beli drop lagi. Ini tidak terukur secara kualitas,” tegasnya.
Said Iqbal lantas mengajukan dua rekomendasi penting kepada pemerintah. Pertama, menaikkan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP), sebagai instrumen jangka panjang menjaga daya beli. Menurutnya, batas PTKP saat ini, yaitu Rp4,5 Juta per bulan, sudah tidak relevan dengan kebutuhan hidup buruh dan masyarakat kelas bawah.
“Naikkan PTKP ke Rp7,5 Juta atau bahkan Rp10 Juta per bulan. Uang yang tidak kena pajak itu pasti dibelanjakan. Kalau daya beli naik, konsumsi naik, maka pertumbuhan ekonomi ikut terdongkrak,” paparnya.
Baca Juga:
- Kejari PALI Tetapkan 2 Tersangka Tipikor
- Diduga Terpeleset Saat Mancing, Tim SAR Gelar Operasi Pencarian Rizki
- Akhir Pelarian Sang Pendeta, Terpidana Kasus Pencabulan Anak
Ia meyakini bahwa dengan menaikkan PTKP, efek domino yang dihasilkan bisa jauh lebih besar ketimbang hanya memberi stimulus 2 bulan. Konsumsi rumah tangga yang membaik akan membuka ruang lebih luas untuk pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, bahkan memperluas penyerapan tenaga kerja dan mencegah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kritik kedua Iqbal tertuju pada sistem penyaluran BSU yang masih diskriminatif. Pasalnya, BSU hanya diberikan kepada pekerja yang terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, jutaan buruh yang bekerja secara informal atau berada dalam hubungan kerja rentan tidak tercakup dalam skema ini.
“Ini bukan kesalahan buruh kalau mereka tak masuk BPJS. Itu kelalaian pengusaha. Tapi justru buruh yang dikorbankan, tidak dapat bantuan,” kritik Iqbal.
Ia mendesak agar kriteria penerima BSU diperluas mencakup seluruh buruh dan pekerja dengan penghasilan rendah, tanpa bergantung pada keanggotaan BPJS semata. Dengan begitu, efektivitas program dalam menjaga daya beli rakyat bisa tercapai secara lebih merata.
Tak hanya itu, Iqbal juga menyoroti pentingnya tata kelola dan pengawasan. Ia mengusulkan agar penyaluran BSU tidak melalui perantara seperti Kementerian Ketenagakerjaan atau BPJS, melainkan langsung melalui rekening yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.
Tujuannya, mempercepat proses, memperkecil potensi penyimpangan, dan memastikan bantuan diterima langsung oleh penerima sah.
“Anggaran BSU ini hampir Rp10 Trilyun, ini besar. Maka harus ada mekanisme pengawasan ketat. Transfer langsung ke rekening penerima dari Kemenkeu itu lebih transparan,” tegasnya.
Bagi Said Iqbal, BSU bukan sekadar soal bantuan tunai. Ini adalah refleksi dari bagaimana negara memperlakukan buruh dan pekerja sebagai pilar ekonomi nasional. Bila penyaluran masih timpang dan kebijakan hanya sebatas pemadam kebakaran, maka krisis daya beli akan terus berulang.
“Buruh itu tulang punggung ekonomi. Jangan hanya dipeluk ketika ada target pertumbuhan ekonomi. Tapi benar-benar dijaga kesejahteraannya secara konsisten.” pungkasnya.
Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa stimulus ekonomi harus disertai kebijakan berkelanjutan, bukan sekadar angka dalam laporan pertumbuhan. Sebab ketika daya beli rakyat rapuh, maka fondasi ekonomi nasional pun goyah. (DETAKKaltim.Com)
Penulis: Lisa
Editor: Lukman