
Andi Ade Lepu. (foto : 1st)
• Andi Ade Lepu*) • Pengamat
KITA semua sudah tahu berita ini: Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi Edi Damansyah dalam Pilbup Kutai Kartanegara.
Ini peristiwa besar. Sejarah baru. Seluruhnya sontak ribut dan riuh. Tapi karena ini putusan final mengikat, tak ada peluang perlawanan; maka semua seperti mau tak mau terima saja. Sudahlah, ini nasib Pak Edi, mau diapakan lagi. Begitu kata seorang kawan yang pendukung berat Edi Damansyah.
Sorotan topik kemudian berpindah. KPUD segera akan menggelar pemungutan suara ulang (PSU) dalam 60 hari ke depan.
Siapa yang paling diuntungkan dalam PSU itu? Orang pertama tentu saja pasangan Dendi-Alif, rival Edi Damansyah yang juga menjadi penggugat di MK. Idealnya, karena mereka menang gugatan, harusnya pula mampu memenangkan Pilkada ulang. Hitungannya begitu. Jika tidak, maka dia hanya mengantarkan kemenangan orang lain. Dia yang mengolah, orang lain yang mengunyah. Kasihan dia.
Orang kedua adalah Rendi Solihin, wakil Edi Damansyah yang tak ikut terdiskualifikasi. Dia ini memiliki elektabilitas kuat. Bocoran survei sebelum Pilkada tempo hari, dia urutan besar kedua setelah Edi Damansyah. Dia sangat berpeluang naik level menjadi Bupati. Sudah lama saya menerawang pemuda asal Samboja ini. Dia memiliki ciri keberuntungan. Istilah memiliki ciri ini saya pinjam dari seorang paranormal politik, yang nyohor dari Samarinda Seberang.
Siapa lagi yang diuntungkan pemungutan suara ulang ini? Tentu saja pemilih. Mereka kembali disuguhi pesta ulang yang lebih meriah. Kita sudah tahu, yang namanya PSU itu darurat politik uang. Tidak normal. Harga-harga akan melambung melampaui tradisi saweran di Pilkada biasa. Politik uang memang pelanggaran yang telah dimaklumi bersama.
MK belum pernah kita dengar men-diskualifikasi kandidat karena urusan politik uang. Padahal ia telah menjadi bayang-bayang Pilkada. Adanya di ruang terbuka di terangnya matahari. Dimana ada Pemilu di situ ada sogokan. Seperti api dan asap, atau mirip gula dan semut.
O ya, masih ada yang diuntungkan atau setidaknya berpeluang mengambil keuntungan. Di sana ada kandidat “paling Kutai”, Awang Yakoub Luthman. Dia bisa saja menjadi kuda hitam dalam kedaruratan itu. Cari investor, perkuat isu, konsolidasi mesin dan organ, lalu serang. Kira-kira begitu.
Satu yang pasti, Pemungutan Suara Ulang (PSU) ini melawan seruan pemerintah pusat yang akhir-akhir ini digaungkan sangat keras untuk melakukan efisiensi seketat mungkin. Biaya Pilkada ulang itu besar, sama besar atau boleh jadi jauh lebih besar dari sebelumnya. PSU itu benar, tapi tidak bijaksana. Efektif tapi jauh dari efisien.
Kita berpikir, kenapa harus diulang? Kenapa tidak urutan kedua saja yang ditetapkan sebagai pemenang? Dalam pacuan kuda atau lomba lari, jika pemenang di-diskualifikasi karena sebuah pelanggaran, maka urutan kedua-lah menjadi pemenangnya.
Tapi bung, ini bukan pacuan kuda, ini pacuan orang. Begitu mungkin pro PSU menyanggah.
Kalau begitu, mari masuk lingkaran. Berputaran dan ikut menari di sana. (*)