DETAKKaltim.Com, JEMBER: Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto didaulat menjadi keynote speech pada acara Dies Natalis Ke-60 Fakultas Hukum Universitas Jember, Senin (25/11/2024).
Di hadapan peserta Rapat Terbuka Senat Fakultas Hukum Universitas Jember dalam rangka Dies Natalis Ke-60 Fakultas Hukum Universitas Jember, baik dari civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jember maupun tamu undangan lainnya, seperti Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Suharto dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana, Sunarto menyampaikan pidato kunci dengan judul “Menggapai Kepastian Hukum dan Keadilan dalam Perkara Perdata.”
“Melalui pidato ini, saya berharap dapat memantik diskusi lanjutan yang lebih dalam mengenai makna penegakan hukum dan keadilan dikaitkan dengan studi Perkara Perdata, yang mendorong Hakim Perdata untuk berperan aktif dan pada akhirnya tidak saja menemukan kebenaran formil melainkan juga kebenaran materiil,” kata Sunarto.
Lebih lanjut ia menyampaikan, berdasarkan pengalaman empiris sebagai Hakim selama hampir 37 tahun, sejak diangkat sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Merauke pada bulan Juli tahun 1987 hingga menjadi Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung tahun 2015, ia mendapati dua hal yang paradoks.
“Terdapat banyak putusan yang menyatakan Gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), dan juga terdapat banyak putusan yang tidak dapat dilaksanakan (non-executable) yang disebabkan karena Hakim yang bersifat pasif,” kata Sunarto.
Namun di sisi lain, lanjutnya, jika ada Hakim yang bersikap aktif dalam memberikan saran atau petunjuk untuk kelancaran persidangan, justru dilaporkan dengan alasan Hakim berpihak.
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2023, Pengadilan tingkat pertama Peradilan Umum menerima Perkara Perdata sebanyak 42.999 perkara dan Peradilan Agama menerima Perkara Perdata Agama sebanyak 432.089 perkara.
Dari perkara yang diterima tersebut, putusan yang menyatakan Gugatan tidak dapat diterima di Peradilan Umum sebanyak 9.514 perkara (22 persen) dan di Peradilan Agama sebanyak 6.326 perkara3 (1,46 persen).
“Fenomena tersebut menurut pandangan saya bertolak belakang dengan asas Peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan dan bertentangan dengan prinsip aktif. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” kata Sunarto.
Dalam ketentuan ini, lanjutnya, kalimat yang digunakan bersifat pro aktif. Sehingga dengan adanya sikap Hakim aktif seyogyanya akan meminimalisir terjadinya Putusan NO, dan Non-Executable.
Berdasarkan fakta empiris tersebut, ia mendiagnosa tiga faktor penyebab. Pertama, Hakim terlalu sempit atau kaku dalam memaknai penegakan hukum dan keadilan; Kedua, Hakim bersikap pasif dalam membantu para pencari keadilan dan pasif dalam berusaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan; dan Ketiga, Hakim hanya fokus pada penemuan kebenaran hukum formil.
Pada bagian Ke-3 pidatonya berjudul Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata. Sunarto mengatakan, ia melihat ada kontradiksi antara teori dan praktik Hukum Acara Perdata di Indonesia. Sebagaimana diketahui, ketentuan mengenai Hakim bersifat pasif.
“Dalam penelusuran saya, ketentuan H.I.R., R.Bg., maupun R.v., tidak menyebut secara eksplisit istilah Hakim aktif dan Hakim pasif,” kata Sunarto.
Perdebatan mengenai pencarian kebenaran formil atau materiil dalam Hukum Acara Perdata, dalam pandangan Sunarto, saat ini tidak relevan lagi. Hal tersebut karena dalam praktik pemeriksaan Perkara Perdata ada tuntutan untuk mencari kebenaran formil dan materiil secara bersamaan.
Pada bagian Ke-5 pidatonya yang berjudul Hakim Menegakkan Hukum dan Keadilan. Sunarto menyampaikan, dari segi kajian normatif, terdapat lebih banyak ketentuan yang menegaskan sifat aktif seorang Hakim dari pada yang mengatur tentang sifat pasifnya dalam Perkara Perdata.
Melalui orasinya, Sunato mengajak agar para Hakim membuka pandangan yang komprehensif terhadap makna penegakan hukum dan keadilan sebagaimana paparannya.
Sehingga terdorong untuk berperan aktif dalam memeriksa perkara baik pada saat pra persidangan, pada saat persidangan, maupun pasca persidangan.
“Pada akhirnya Hakim dalam Perkara Perdata tidak saja menemukan kebenaran formil, melainkan juga kebenaran materiil,” sebutnya.
Pada bagian akhir pidatonya, Sunarto menyimpulkan. Untuk menggapai kepastian hukum dan keadilan dalam Perkara Perdata, para pihak yang berperkara dan Hakim perlu menggunakan tiga hal.
Pertama, nalar yang akan mengarahkan berpikir logis; Kedua, naluri yang muncul dari hati atau nafsu atau sering disebut insting; dan Ketiga, nurani yang akan mempertimbangkan dari lubuk hati yang paling dalam. (DETAKKaltim.Com)
Penulis: LVL